Kategori

Rabu, 21 Mei 2014

RENUNGAN KEBANGKITAN NASIONAL


Renungan Kebangkitan Nasional
Oleh : Agus Bandono

Tanggal 20 Mei 1928 diikrarkan oleh Pemuda Indonesia sebuah tekad dan cita-cita  kemerdekaan: “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” yang dikenal dengan kebangkitan nasional.  Sebuah kebangkitan nasional, kebangkitan perasaan sebagai bangsa yang satu dalam nasib melawan penjajahan.Tujuh belas tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus  1945 Sebuah tekad dan cita- cita kemerdekaan terealisir. Kebangkitan nasional pertama relative begitu “mudah”  dicapai karena melawan 1 musuh yakni kaum penjajah. Identitas Kebangsaan dan kemandirian mengatasi identitas kesukuan dan golongan. Perbedaan-perbedan atas cdasar suku, ras dan golongan dirajut menjadi mozaik mengkilat sebagai  bangsa. Nasionalisme sebagai sebuah inklusif. Inklusifitas merangkul semuanya untuk menjadi satu ikatan yang kuat sebagai idealism sejati.
Lima puluh tahun kemudian setelah kemerdekaan, yang konon dianggap sebagai Kebangkitan Nasional kedua, sebuah cita-cita baru dalam mengisi kemerdekaan. Mengisi relung hati yang kosong, melawan kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan, korupsi. Ini semua merupakan musuh yang harus diperangi pada geliat kebangkitan nasional kedua. Repotnya, “musuh” musuh ini  dilakukan oleh komponen bangsa kita, teman kita, tetangga kita, atasan kita. Pola pikir inklusifitas berubah dari sebuah narasi kebudayaan menjadi narasi ekonomi. Nasionalisme kedua adalah nasionalisme ekonomi dan rasionalitas-pragmatis yang bernama pembangunan.Pada Era Soeharto , pembangunan sebagai sebuah monopoli interpretasi yang hegemonic. Sebuah pemerintahan mandiri menjadi pseudo kekuasaan rejim Soeharto. Dimana-mana terjadi oposisi latent terhadap rejim. Meskipun secara fisikal ada “kemajuan” akan tetapi secara mental spiritual terjadi kemunduran. Pikiran baru mengenai nasionalisme di atas mengindikasikan bahwa monopoli interpretasi dan sentralisasi pengertian
tentang nasionalisme harus digantikan oleh demokratisasi pemahaman secara lebih substansial. Karena nasionalisme adalah “komunitas politik yang dibayangkan” (imagined political communities), maka perlu ada sharing of ideas dan bahkan socio-political sharing antar berbagai masyarakat pendukungnya (fellow-members). Tanpa itu semua, jangan heran bila eksistensi nasionalisme akan terganggu, dan pada gilirannya “temuan” (invent) itu akan hilang. Apalagi untuk negara bangsa sebesar dan sekompleks Indonesia sekarang, “justice sharing” (pembagian yang berkeadilan) antara berbagai elemen bangsa dan daerah menjadi sebuah keharusan. Karena kemajemukan (bhinneka) menjadi dasar dari kesatuan (Ika), menjadi mutlak sifatnya bagi siapa pun untuk memberi perhatian kepada keadilan –baik dalam bentukmaupun substansinya– antar golongan, antar agama, antar suku, antar wilayah, antar gender, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, nasionalisme Indonesia hanya dapat dikontekstualkan apabila kita semua memperhatikan peran berbagai nilai-nilai lokal di dalamnya. Dengan mempercayai (trust) peran nilai-nilai lokal tersebut, berarti kita telah menemukan kembali “modal sosial” (social capital) – yang menjadikan negara bangsa ini lahir dan terus bertahan sampai sekarang.

Runtuhnya rejim Soeharto pada mei 1998, 70 tahun kemudian dari 1928, dianggap sebagai kebangkitan demokratisasi, kebebasan dan transparansi, bangsa Indonesia justru menghadapi kegamangan atas kebebasan yang dinikmatinya. Kebebasan tanpa makna dan tanpa batas.
Tahun 2000 an yang konon dianggap sebagai tonggak kebangkitan nasional ketiga,  kondisi bangsa kita tidak beranjak dari situasi keterpurukan, ketertindasan, keterbelakangan, ketidakadilan dari segala bidang. Seratus tahun bukanlah perjalanan yang pendek, tetapi justru bangsa Indonesia berada di persimpangan jalan.Nasionalisme menatap kegamangan wajah baru yang lesu. Proses nasionalisme Indonesia memberikan ''wajah'' yang berkaitan dengan mencampuradukan sebagian atau seluruh model sentimen yang ada dalam pengikatan warga dalam bernegara. Dalam sejumlah kajian dapat diperhatikan, bagaimana proses memahami nasionalisme di Indonesia ini, dari masa ke masa, seringkali tumpang tindih dan makin lama makin tidak jelas arahnya. ''Makin menyempit, jatuh kepada perasaan yang terpisah bahkan dimainkan oleh kepentingan yang sangat sempit. Sering tidak lagi mewakili bahkan untuk etnik, maupun  kelompok,.
Wajah baru nasionalisme adalah wajah neoliberal, wajah budaya konsumerisme, dan menyeruaknya sexual harassment serta neo imperalisme. Wajah seorang budak di rumahnya sendiri.Pertambangan dikuasai oleh tamunya, periuk nasi ditanak  oleh tamunya. Kita Cuma dikasih sesuap nasi. Kita disuapi nasi bubur. Kita menjadi buruh di perusahaan sendiri. Tragis dan quo vadis.
Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta sebagai calon pemimpin Indonesia 5 tahun ke depan yang mewakili wajah Jawa dan non-jawa, apakah merupakan kebangkitan pemimpin yang merepresentasikan nasionalisme baru menuju bangsa yang mandiri dan berdikari secara politik dan ekonomi atau malahan menjadi pemimpin yang melanggengkan ideologi neo liberal yang jelas-jelas mengagungkan “daulat pasar” bukan “daulat rakyat” baik  dalam politik maupun ekonomi. Daulat rakyat dalam politik yang direpresentasikan oleh DPR dan DPD yang mengemban aspirasi rakyat atau malahan sekadar “artis politik” dengan glamorisme dan menggadaikan kebutuhan rakyat untuk kepentingan pribadi dan partainya. Pelajaran 5 tahun pada era pemerintahan SBY cukup untuk “warning” kepada wakil rakyat kita.
Daulat ekonomi direpresentasikan oleh kebijakan ekonomi yang memihak pada rakyat kecil dan rakyat terpinggirkan, yang memberantas kemiskinan. Bukan malahan kebijakan yang hanya mampu menggusur orang miskin. Meminggirkan orang miskin, mengusir orang miskin. Orang miskin dianggap musuh pembangunan, diidentikkan dengan kekumuhan. Apakah ini yang dinamakan nasionalisme baru? Jelas tidak. Ini adalah nasionalisme keblinger. Pemerintahan yang menggusur rakyat adalah pemerintahan penjajah.
Meminjam kalimat Saldi Isra, pakar hukum Tata Negara, daulat rakyat harus bisa digunakan sebagai pisau untuk membedah, memotong atau membuang anggota legislatife dan parpol yang cenderung mengabaikan amanah rakyat. Demokrasi adalah daulat Rakyat. MERDEKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar