Kategori

Rabu, 21 Mei 2014

“INDUSTRI FILM IMPOR PASCA KEBIJAKAN PENGENAAN PAJAK ROYALTI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK MEDIA”


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang

Bangkitnya Industry film di Indonesia  Pasca reformasi dimulai tahun 1998 hingga tahun 2004. Pada tahun 1998 bersamaan dengan eforia reformasi, film Indonesia diproduksi kembali dan sedikit demi sedikit diputar di layar lebar. Pada waktu yang bersamaan pula, perlahan-lahan muncul film yang kebanyakan dibuat oleh sineas muda yang menandakan kebangkitan industry film Indonesia.. salah satrunya adalah pemunculan  komunitas film Independen (KONFINDEN), suatu organisasi yang mewadahi gerakan film Independen. Di samping itu para pembuat film yang mempunyai dana  dan pengalaman sinematografi yang mapan juga berhasil memasukkan film-fiom Indonesia ke bioskop yang ditonton masyarakat banyak. Apresiasi masyarakat Indonesia terhadap film nasional juga meningkat. salah satu indikatornya adalah diselenggarakan Jakarta International Film festival pada tahun 1999. Namun demikian, usaha film impor film dan usaha perbioskopan masih dikuasai Group 21. Group 21 dengan beberapa anak perusahaannya  yang memonopoli industry perfilman dan perbioskopan, ini suatu fakta yang tak bisa dipungkiri.
Berbicara industry film Indonesia setidaknya ada 3 aktor yang akan berusaha melakukan tarik menarik antara Negara-pasar/konsumen-produsen film. Negara dengan wewenangnya mempunyai kepentingan terhadap nilai-nilai kebangsaan, moralitas serta keuangan dalam arti menarik keuntungan dari geliat industry film untuk menambah pemasukan pendapatan Negara. Kebijakan Negara dalam hal penarikan pendapatan dari film salah satunya adalah menarik pajak royalty dari film impor. Selama ini importer film Indonesia hanya  membeli cetak film 0,43 us dollar  per meter (rata-rata satu rol film sekitar 3000 meter) . Setelah film diputar di Indonesia, importer membayar royalty ke produsen film di luar negeri. Tetapi hal itu dianggap oleh Negara belum menyetor pajak royalty dari film yang sudah diputar di Indonesia, karena royalty yang dibayarakan importer Indonesia belum dilaporkan kepada Negara. Menurut Undang-Undang kepabeanan tahun 2006 royalti barang impor diperhitungkan sebagai komponen nilai pabean alias wajib dikenai bea atau pungutan. Dari hasil pencatatan pihak Ditjend bea Cukai selama 2 tahun dari 1759 judul film impor sekurangnya ada 30 milyar rupiah yang belum disetor Negara.
Tetapi kalangan importer film di Indonesia menganggap bahwa harga pembelian cetak film ini nantinya sudah kena bea masuk 10 persen, PPN 10 persen dan pajak penghasilan 2,5 persen (Tempo, 6 Maret 2011).
Dari sisi produsen film, kebijakan pajak royalty atas film impor di samping akan berakibat “kerugian” dari sisi financial juga diperkirakan akan menggeser “monopoli” importer tertentu. Oleh karena itu, kalangan importer mengancam akan menghentikan impor film-film Hollywood manakala kebijakan pajak royalty benar-benar akan dikenakan. Seperti diketahui bahwa Group 21  menguasai 6 produsen film anggota MPA (Motion Picture Association) dan  mengendalikan jaringan bioskop di Indonesia lewat PT Nusantara Sejahtera Raya.  Group 21 Menguasai  130 bioskop dari 178 bioskoip di Indonesia, group ini dituding menghambat kiprah film lokal/nasional dengan gelontoran film impor. Patut dicatat, tahun 2010 dari  207 film asing 144 judul berasal dari AS (sebagai besar dari MPA), sedangkan film nasional hanya 77 judul. Fakta tadi hanyalah gunung es yang muncul di permukaan, di bawahnya terkandung substansi permasalahan adanya tarik menarik pertarungan antara Negara dengan pengusaha film mengenai “Monopoli, Dominasi- Hegemoni” dalam industry Film di Indonesia
Dalam perspektif ekonomi politik : maka analisa ini akan mempertautkan antara motif politik di balik kebijakan ekonomi negara(pengenaan pajak royalty film impor) berhadapan dengan motif politik importer film  dibalik penolakan mereka atas kebijakan ini.

1.2.        Rumusan Masalah

1.      Apakah ada motif politik dan ekonomi dari  pemerintah dibalik kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor
2.   Bagaimana perkiraan dampak  dari kebijakan pengenaan pajak royalty film impor bagi peredaran film impor dan tumbuhnya produksi film local.

1.3.        Tujuan

Tujuan diadakan penulisan ini adalah :
a.    Untuk mengetahui motif politik dan ekonomi dari  pemerintah dibalik kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor
b.   untuk mengetahui perkiraan dampak  dari kebijakan pengenaan pajak royalty film impor bagi peredaran film impor dan tumbuhnya produksi film local

1.4.        Signifikansi Penelitian

a.    Siginifikansi Akademis
-   Studi ini merupakan usaha untuk mengembangkan pemikiran teoritik ekonomi politik media dalam kasus kebijakan pengenaan pajak royalty film impor.
b.    Signifikansi Praktis
-   Hasil studi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi praktis bagi pelaku bisnis di bidang industri film di Indonesia
-   Hasil studi ini diharapkan bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang industry film di Indonesia.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA  DAN KERANGKA PEMIKIRAN


2.1.        Pengertian Ekonomi Politik

Sebelum mendefinisikan apa itu ekonomi politik, perlu ditelusuri akar dari istilah ekonomi-politik agar pembahasan ekonomi politik tidak keluar dari jalurnya. Istilah ekonomi politik merupakan “campuran”  dari istilah ekonomi dan istilah politik, tentu saja juga merupakan perjumpaan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Apakah perjumpaan antara ilmu ekonomi dengan ilmu politik melahirkan “resiproksitas” atau melahirkan disiplin baru, adalah pertanyaan pertanyaan yang perlu dijawab dalam buku ini.
Ekonomi (Yunani : oikos= rumah tangga. Nomos = aturan, mengatur), apapun definisinya akan berkenaan dengan  pemecahan masalah-masalah yang berkisar pada produksi, distribusi-alokasi, mobilisasi konsumsi barang dan jasa dalam suatu perusahaan, masyarakat atau pun Negara. Produksi, distribusi-alokasi, moblisasi konsumsi merupakan problem dasar di setiap bentuk perekonomian atau sistem ekonomi, apakah pada sistem sosialisme atau liberalism yang merupakan 2 system ekonomi  yang ekstrim.
Sedangkan Politik, apapun definisinya akan berkenaan dengan Negara, kekuasaan, kebijakan, pengambilan keputusan, distribusi dan alokasi, serta kebaikan bersama. Diantara 6 unsur politik tersebut, ada 3 unsur yang menonjol dan  sering diamati yaitu : unsur kekuasaan, Negara, kebijakan.   Politik sebagai seni dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat nampak pada cara bagaimana sekelompok orang berusaha bagaimana mereka merebut kekuasaan, mempertahankan, maupun merebut kekuasaan. Politik pada tingkat pemerintah dan lingkup Negara, berkenaan dengan pembuatan dan penerapan kebijakan pemerintah dan negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah dan atau Negara dituangkan dalam bentuk konstitusi, Undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan-peraturan di bawahnya.
Dengan demikian, ekonomi “an sich”  secara klasik sesungguhnya berbicara pada tataran mikro, akan tetapi apabila ekonomi dipadukan dengan politik sebagai sesuatu yang “innate” maka ekonomi memasuki dunia makro yakni dunia kekuasaan dan dunia kebijakan pemerintah atau Negara.
Di dalam tataran akademik, baik dalam bidang ilmu ekonomi maupun bidang politik, perjumpaan ilmu  ekonomi dan politik ini melahirkan dua istilah baru dalam kedua disiplin tersebut : Ekonomi Politik dan Politik ekonomi.
Dalam perjumapaan ilmu ekonomi dan ilmu politik ini, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menyatakan bahwa perbauran ilmu ekonomi dan ilmu politik bisa menghasilkan salah satu dari metode analisis berikut :
1.    Metode analisis politik-ekonomi, yakni yang dapat dikatakan sebagai penerapan dari cara pendekatan yang berasal dari teori politik untuk memahami permasalahn ekonomi atau the political theory of economics
2.     Metode analisis ekonomi- politik yang merupakan penerapan dari cara pendekatan yang bersumber pada teori ekonomi untuk memahami permasalah politik atau The economc theory of politics
Metode analisis politik-ekonomi  adalah jelas yang oleh pakar ilmu social sering dijuluki political-economy, di mana teori politik dicoba dimanfaatkan untuk memahami berbagai permasalahan ekonomi, yakni dilakukan atas dasar alasan bahwa teori ekonomi tidak mampu lagi menerangkan secara memuaskan suatu peristiwa ekonomi yang terjadi. Kelompok pakar politik –ekonomi berlainan dengan pakar ekonomi murni, yang tidak berhenti pada variable atau parameter ekonomi dalam memahami peristiwa ekonomi yang terjadi. Pakar politik- ekonomi akan menyelidiki aktor-aktor yang terlibat dalam gerakan dari variable atau parameter ekonomi dengan menghubungkan dengan actor yang terlibat, serta menghubungkan actor yang terlibat dengan struktur sosial dan politik yang ada.
Sedangkan pakar ekonomi-politik justru mencoba menerangkan apa tindakan tindakan ekonomi yang dilakukan oleh para actor tertentu pada waktu mereka melakukan kegiatan politik, di belakang kegiatan politik actor tertentu ada motivasi ekonomi yang mendasari kegiatan itu (Jurnal Ilmu Politik No.8/1991, hal 5-6 ).
Ekonomi politik menurut Adam Smith dalam buku The Wealth of Nations adalah suatu cabang ilmu  tentang teori evolusi kemasyarakatan di mana inti dari perkembangan ekonomi secara sitematis dikaitkan dengan perubahan social dan politiik (dalam Dawam Rahardjo: Esei-Esei ekonomi Politik, 1988, hal. viii)
Sedangkan ekonomi politik menurut Staniland dalam buku What isi political economy? A Study of social Theory and underdevelopment (1985) adalah studi tentang teori social dan keterbelakangan, hubungan antara politik dan ekonomi, baik secara eksplanatoris maupun normatif ( Dalam Deliarnov: Ekonomi Politik, 2011: 8)
Menurut Caporaso & Levina (1993) pada awalnya Ekonomi politik dimaksudkan untuk memberikan saran mengenai pengelolaan masalah-masalah ekonomi politik pada waktu itu sebagai pengelolaan masalah-masalah ekonomi Negara ( political Economy referred to the management of economic affairs of the state ). Selanjutnya, ekonomi politik oleh pakar-pakar ekonomi politik baru lebih diartikan sebagai analisis ekonomi terhadap proses politik. Dalam kajian tersebut mereka mempelajari institusi pilitik sebagai entitas yang bersinggungan dengan pangambilan keputusan ekonomi politik, yang berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan dan pilihan public, baik untuk kepentingan kelompoknya maupun untuk kepentingan masyarakat luas.
Dalam penggabungan analisi ekonomi dengan politik oleh pakar-pakar ekonomi politik baru, banyak yang curiga bahwa para ekonom telah melakukan penjajahan dan mengambil alih tugas para pakar politik. Kecurigaan ini bukannya tidak berdasar, sebab menurut Albert O. Hirschman dalam Easy in Trespassing: Economics to Politics and Beyond (1981), Ekonomi politik memang merupakan penjajahan dari ilmu ekonomi ke dalam ilmu politik.
Jika istilah “Penjajahan” terdengar terlalu kasar, dalam bahasa yang lebih netral Ekonomi Politik merupakan peralihan yang eksalatif dari ilmu Ekonomi klasik yang  sederhana menuju Ilmu Ekonomi pembangunan yang semakin kompleks dank arena itu semakin menarik untuk dikaji lebih mendalam ( Leo Agustino, 2000 ).
Bahwa ekonomi politik merupakan penjajahan ilmu ekonomi terhadap ilmu politik atau peralihan eskalatif dari ilmu ekonomi murni ke ekonomi pembangunan yang lebih kompleks sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Buktinya, para pakar politik juga mampu memperlihatkan bahwa system politik menentukan hubungan antara mereka yang memiliki kekuatan politik dengan yang kurang atau yang tidak memiliki kekuatan. Selain itu, system politik menentukan hubungan anatar penguasa ( ruler) dengan masyarakat.
Degan demikian bagi ahli ekonomi politik, kegiatan ekonomi, seperti kegiatan-kegiatan lain dalam masyarakat, tidak terlepas dari konteks politik. Tegasnya, system politik tidak hanya membentuk power relationship dalam masyarakat, tetapi juga menentukan nilai-nilai serta norma-norma yang sedikit banyak akan menentukan apa dan bagaimana berbagai kegiatan ekonomi dilaksanakan dalam masyarakat.
Dalam pandangan saya pribadi, ekonomi-politik adalah bahwa dalam kegiatan politik aktor tertentu “ditunggangi” oleh motif ekonomi atau ekonomi menunggangi kegiatan politik. Dalam pengertian yang lebih diperas lagi, ekonomi politik adalah analisis  bagaimana “market” menunggangi “power, bagaimana prosesnya, siapa yang diuntungkan atau dirugikan dari kebijakan politik.  Bagaimana proses dan Implikasi dari kebijakan politik ini (di bidang apapun termasuk di bidang Media ) siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Adapun politik-ekonomi adalah dalam kegiatan ekonomi  actor tertentu “ditunggangi” oleh motif politik, atau politik  “menunggangi” kegiatan ekonomi. Dalam pengertian yang lebih diperas lagi, politik-ekonomi adalah analisis  bagaimana “power” menunggangi “market, bagaimana prosesnya, siapa yang diuntungkan atau dirugikan dari kebijakan ekonomi.  Bagaimana proses dan Implikasi dari kebijakan ekonomi ini (di bidang apapun termasuk di bidang Media ) siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.

2.2.        Ekonomi Politik Media

Schiller ( 2001:319 ) menjelaskan dalam teori imperialisme budaya bahwa terjadi dominasi oleh Negara dunia pertama terhadap Negara dunia ketiga yang akhirnya menyebabkan jurang ketertinggalan yang amat besar diantara kedua kelompok Negara-negara ini. Ketika ada usaha mengubah ketertinggalan ini, campur tangan pihak asing muncul untuk mempertahankan situasi dengan menawarkan keuntungan kepada pihak lokal yang mendominasi, atau sering disebut the national elites.
Mc Chesney ( http://www.monthlyreview.org/301rwn.html ) memaparkan bahwa fenomena ini akhirnya memicu terbentuknya dua lapisan perusahaan media dalam system media global. Lapisan pertama diduduki oleh media-media transnasional dan lapisan kedua terdiri dari perusahaan-perusahaan media yang mendukung perusahaan-perusahaan di lapisan pertama. Lapisan kedua ini adalah perusahaan media lokal yang mendominasi pasaran nasional di Negara-negara mereka sendiri. Koordinasi ini tidak hanya mempengaruhi perilaku ekonomi, namun juga membuat membuat perusahaan media multinasional lebih efektif melakukan lobi di level nasional, regional, bahkan global. Pada system media yang terintegrasi secara global ini public cenderung hanya sedikit memberikan masukan, bahkan tidak memberikan masukan sama sekali.
Schiller sendiri menggunakan istilah imperialism budaya untuk menjelaskan bagaimana perusahaan multinasional besar-termasuk media di Negara maju-mendominasi Negara berkembang. Imperialisme budaya menjelaskan bahwa suatu masyarakat dibawa kedalam system Negara yang mendominasi ketika jenjang yang mendominasi masyarakat itu di tekan dan dipaksa membentuk institusi-institusi sosialnyaberkolerasi dan mendukung nilai-nilai dan struktur dari pusat dominasi sistem itu. Dependensi yang berkelanjutan antara dunia pertama dan dunia ketiga membentuk imperialisme baru karena melanggengkan praktik-praktik dominasi: Negara dunia ketiga hanya mendapatkan keuntungan sedikit dari praktek itu, salah satunya terjadi dalam industri film amerika serikat.
Schiller lebih lanjut menjelaskan dalam argumennya mengenai imperialisme bahwa pemerintah amerika serikat menekan pemerintah asing dan perusahaannya untuk memastikan distribusi yang lebih besar bagi film buatan Negara itu. Tujuannya untuk mempromosikan nilai-nilai yang menguntungkan kepentingan geo politik amerika serikat dan mempromosikan kepentingan komersial produk-produk buatan Negara itu.

a.    Ekonomi politik Noam Chomsky
Chomsky menulis buku Manufacturing Consent: the political Economy of the Mass Media bersama dengan Edward S. Herman. Buku ini menggunakan model propaganda sebagai kerangka kerja untuk menganalisis dan memahami bagaimana cara kerja media US pada umumnya dan mengapa mereka melakukan seperti itu.
Sebagaimana sarjana media radikal lainnya, mereka mulai dari asumsi bahwa media melayani elit dominan. Ini terjadi ketika media secara langsung dikontrol oleh Negara dan untuk mengangkat fungsinya media harus melakukan propaganda secara sistematis.
Model propaganda Herman dan Chomsky menggabungkan elemen  politik dan instrumental yang mempengaruhi, yang melibatkan 5 saringan, yaitu (1) ukuran, pemusatan pemilikan,kemakmuran pemilik dan orientasi keuntungan, (2) iklan sebagai  pemasukan utama media massa, (3) ketergantungan media pada informasi yang disediakan oleh pemerintah, bisnis dan ahli yang dibiayai dan didukung oleh sumber utama dan agen penguasa,(4) Flak sebagai sarana pendisiplinan media, (5) anti komunisme sebagai mekanisme kontrol dan “agama” nasional.
b.    Ekonomi politik Vincent Mosco
Bagaimana konstelasi media di tengah situasi ekonomi dan politik? Itu barangkali merupakan pertanyaan terakhir yang harus dijawab pada saat seorang reader hendak mengakhiri pembacaan terhadap produk media. Makna akhir dari sebuah “pembacaan” sebenarnya adalah sebuah gambaran tentang sejauh mana media mengambil posisi di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi dalam seting kepemilikan (ekonomi) dan seting kekuasaan (politik). Wilayah ini barangkali adalah abstraksi yang paling advanced. Penelusuran dari taraf mikro (tekstual) tiba-tiba dihadapkan pada serangkaian konsep teoritik tentang relasi sosial, ekonomi dan jalinan kekuasaan yang berlangsung dalam produksi dan distribusi bahasa media. Dalam menjelaskan relasi ini, Vincent Mosco menawarkan tiga konsep penting untuk mendekatinya yakni: komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization) dan strukturasi( structuration) (Mosco, 1996:139).
Menurut Vincent Mosco (1995), “political economy is the study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources, including communication resources.” Mosco offers three concepts for the application of political economy to the field of communications:
·            Commodification – The process of taking goods and services that are valued for their utility and turning them into commodities. Mosco (1996) defines commodification as “the process of transforming use values into exchange values, of transforming products whose value is determined by their ability to meet individual and social needs into products whose value is set by what they can bring in the marketplace.” Commodification is the term for a process in which a product’s value deriving from human want or need (use value) is transformed into the value it could get from exchange (exchange value) (p.141). An example of this in relation to the mass media would be the commodification of audiences, and, increasingly, cybernetic commodification in the form of electronic information about our consumption habits.
·            Spatialization – The process of overcoming the constraints of space and time in social life (Mosco, 1996).
·            Structuration – The third entry point is structuration, developed from Anthony Giddens theory of structuration, whereby the interconnections of structure and action are understood to reproduce social life (p.212). Mosco examines aspects of the structuration of the communications industry in terms of the dimensions of class, gender and race. These he suggests are mutually constitutive categories in terms of structuration processes (p.239) and that two possibilities for considering them together are to be found in the focus on social movements and hegemonic processes. This entry-point incorporates the idea of agency, social process and social practice into the analysis of structures.
Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Memang terasa aneh, karena produk media umumnya adalah berupa informasi dan hiburan. Sementara kedua jenis produk tersebut tidak dapat diukur seperti halnya barang bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi konvensional. Aspek tangibility-nya akan relatif berbeda dengan ‘barang’ dan jasa lain. Kendati keterukuran tersebut dapat dirasakan secara fisikal, tetap saja produk media menjadi barang dagangan yang dapat dipertukarkan dan berilai ekonomis. Dalam lingkup kelembagaan, awak media dilibatkan untuk memproduksi dan mendistribusikannya ke konsumen yang beragam. Boleh jadi konsumen itu adalah khalayak pembaca media cetak, penonton televisi, pendengar radio, bahkan negara sekalipun yang mempunyai kepenyingan dengannya. Nilai tambahnya akan sangat ditentukan oleh sejauh mana produk media memenuhi kebutuhan individual maupun sosial.
Lebih jauh Mosco menjelaskan bahwa bentuk komoditas di dalam komunikasi ada dua, yaitu komodifikasi isi media dan komodifikasi audiens. Isi pesan atau produk atau kreasi media adalah bentuk komodifikasi yang utama. Kumpulan informasi dan data yang tidak bermakna pada awalnya kemudian diolah sedemikian rupa oleh media untuk mendapatkan "nilai tukar". Ada media yang mentransaksikan isi media tersebut langsung dengan audiens atau pengakses pesan, ada media yang "menjualnya" melalui pengiklan baru ke audiens. Tindakan media yang terakhir inilah yang disebut oleh Mosco sebagai komodifikasi audiens. Pengelola media (komersial) menjual kuantitas audiens pada pengiklan, semakin besar jumlah audiens yang mengakses isi media akan memiliki semakin tinggi nilai di mata pengiklan. Tak heran ada seorang ahli ekonomi politik media Indonesia yang menyebut audiens sebagai "buruh"-nya media.
Komodifikasi isi pesan media dan audiens ini termaktub dalam komodifikasi intrinsik, di mana nilai tukar yang berusaha didapatkan oleh media semata-mata berasal dari interaksi antara isi dan audiens. Misalkan audiens dianggap senang dengan isi media film yang menyerempet pornografi sambil membicarakan mistis, isi pesan yang mistis cenderung porno ini akan selalu diproduksi dan dirilis, katakanlah mulai film "Jelangkung" sampai yang terakhir "Rintihan Kuntilanak Perawan". Kemungkinan karena topik hantu saja kurang bisa "menjual", semakin lama film hantu semakin dibumbui oleh adegan yang "menyerempet" pornografi, sementara bila produsen film hanya membesut "film panas" tanpa dibumbui mistis, hal itu akan terasa terlalu jelas melanggar norma sosial.
Selain hal-hal yang langsung berkaitan dengan isi media dan audiens, tindakan lain yang termasuk di dalam komodifikasi adalah komodifikasi ekstensif. Komodifikasi jenis ini adalah sebentuk proses ekspansi komodifikasi ke luar dari isi media. Komodifikasi ekstensif bisa berasal dari bidang apa saja. Bisa semua bidang dalam jangkauan sosial, politik, dan ekonomi. Intinya adalah melakukan tindakan-tindakan yang secara tidak langsung berhubungan dengan media dan segala elemennya. Kehadiran tiga menteri dalam premier "Eat Pray Love" memberikan promosi tambahan untuk film tersebut. Hanya karena film tersebut melakukan syuting di Bali, tiga menteri, yaitu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Kesehatan Endang Rahayu, dan tentunya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, serta istri Wakil Presiden Boediono, Herawati Boediono, sampai harus datang menontonnya pertama-kali di Indonesia. Semua tindakan yang dilakukan oleh produsen pesan media atau pihak-pihak tertentu yang berkaitan dengan isi kreasi media adalah salah satu bentuk "komodifikasi ekstensif"
Bentuk komodifikasi lain yang termasuk di dalam komodifikasi ekstensif adalah komodifikasi pekerja (media). Mosco menjelaskan bahwa komodifikasi pekerja dapat melalui dua jalan, yaitu mengatur fleksibilitas dan kontrol atas pekerja dan "menjual" pekerja tersebut untuk meningkatkan nilai tukar dari isi pesan media (hal.157). "Jalan" pertama terutama semakin mudah dilakukan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju dan konglomerasi media yang semakin meraja. Misalkan saja seorang jurnalis yang bekerja untuk satu perusahaan media padahal media tersebut memiliki "output" yang beragam, mulai dari cetak sampai online. "Jalan" kedua juga galib dilakukan. Contohnya adalah dikontraknya Tera Patrick untuk bermain film di Indonesia. Dia yang merupakan bintang film porno di Amerika jelas menjadi bagian yang ampuh untuk menarik penonton. Cara serupa sebelumnya juga dilakukan dengan mengontrak Miyabi alias Maria Ozawa. Selain terjadi untuk pekerja media yang "tampil", hal serupa juga dilakukan untuk pekerja media di balik layar, misalnya produser dan camera person, bahkan penyanyi untuk OST di dalam film dan game. Intinya, pekerja media pun merupakan elemen yang penting bagi komodifikasi.
Istilah komodifikasi bukannya tanpa kritik. Ilmu tentu saja akan mati dan berhenti berkembang tanpa kritik. Kritik yang utama atas komodifikasi adalah hilangnya esensialisme di dalam konsumsi isi media. Bahwa tindakan atas isi media bisa dilakukan, namun konsumsi isi media adalah otonomi tak terbatas milik audiens atau pengakses. Salah satu pemikir yang mengritik komodifikasi adalah Claus Offe (1984) yang melansir istilah "rekomodifikasi administratif". Inti dari kritik Offe adalah di dalam budaya konsumsi seperti era postmodernisme, mekanisme pasar telah gagal untuk "melawan" kuasa audiens. Dekomodifikasi kemudian melibatkan juga program dan regulasi yang mematahkan kepentingan produsen terlalu banyak. Pemikiran Offe tentang rekomodifikasi ini juga sejalan dengan pemikiran Max Weber ketika mengritik birokratisasi di mana kondisi yang tercipta seringkali berasal dari mekanisme non-pasar.
Kritik lain untuk komodifikasi adalah keragaman cara pandang. Sekalipun komodifikasi itu pervasif dan berpengaruh kuat, prosesnya tidaklah singular. Proses komodifikasi terjadi timbal-balik di dalam kehidupan publik dan privat. Tiga orang tokoh yang berada dalam klasifikasi kritik ini, yaitu Jurgen Habermas, Stuart Hall, dan Anthony Giddens. Menurut Habermas, kehidupan publik dan privat tidak dapat dipisahkan. Inilah yang disebutnya dunia-kehidupan (Lebenswelt) atau bisa disebut juga intersubyektivitas. Inilah yang kemudian membentuk identitas dan terbawa dalam kehidupan publik. Stuart Hall menyampaikan kritiknya lebih jelas lagi. Menurutnya, kapitalisme selalu membawa ketakstabilan dalam identitas, termasuk narsisme identitas personal. Hal ini berkaitan erat dengan otonomi personal yang tidak bisa dipengaruhi oleh tindakan eksternal secara mudah. Kritisi terakhir dalam domain ini adalah Giddens. Ia melihat bahwa kehidupan privat dan publik merupakan "proyek eksistensial" individu, di mana dualitas selalu menampilkan diri. Di dalam proyek eksistensial tadi sangatlah penting untuk kondisi seseorang menghidupi personalnya dan upayanya untuk "menyediakan" sumber daya moral untuk hidup dan memuaskan eksistensinya (hal. 166).
Spasialisasi, berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Pada aras ini maka struktur kelembagaan media menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media di hadapan khalayak. Perbincangan mengenai spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah berbentuk korporasi yang berskala besar atau sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak, apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Acapkali lembaga-lembag ini diatur secara politis untuk menghindari terjadinya kepemilikan yang sangat besar dan menyebabkan terjadinya monopoli produk media. Sebagai contoh, diterbitkannya UU Penyiaran No 32 tahun 2002 merupakan satu bentuk campur tangan politik untuk meniadakan monopoli informasi dan kepemilikan modal. Undang-undang ini juga mensyaratkan agar ke depan tidak ada lagi televisi nasional yang siaran di daerah sebelum berjaringan dengan stasiun televisi lokal. Secara politis, kebijakan ini dijalankan untuk menjamin diversity of content, karena sepanjang stasiun televisi nasional masih beroperasi di daerah, maka muatan siarannya hanya akan didominasi oleh muatan dari ‘pusat’. Sementara di sisi lain, secara ekonomi diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk memancing hadirnya media-media baru di tingkat lokal. Sehingga ke depan terjadi diversity of ownership. Ini akan berbeda dengan kondisi sekarang dimana kepemilikan media televisi nampaknya hanya dikuasai oleh sebagian kecil pemilik modal yang berbasis di pusat politik.
Terakhir, strukturasi berkaitan dengan relasi ide antaragen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens (Mosco, 1996: 212).
c.    Teori strukturasi  Anthoni Giddens
Giddens menjelaskan bahwa agen manusia dan struktur social mempunyai hubungan satu sama lain: dan pengulangan aksi oleh agen manusia inilah yang memproduksi struktur social. Ini membuktikan adanya struktur social-tradisi, institusi,kode moral, dan cara-cara yang telah disepakati untuk melakukan sesuatu. Namun demikian, struktur social ini dapat berubah ketika manusia mulai menghiraukan, mengganti, ataupun mereproduksi struktur social itu dengan cara yang berbeda.
Menurut Giddens ( 2003:36 ) ada tiga dimensi strukutral sistem sosial yakni signifikansi, dominasi, dan legitimasi.


Berdasarkan tabel, modalitas strukturasi berfungsi menjelaskan dimensi-dimensi utama dualitas struktur dalam interaksi yang menghubungkan kapasitas yang diketahui dari para agen dengan sifat-sifat structural. Skema interpretative adalah cara-cara penetapan jenis yang dimasukkan dalam gudang pengetahuan actor, yang secara refleksif diterapkan dalam melakukan komunikasi. Signifikansi adalah symbol-simbol yang disisipkan dalam urutan simbolis sebagai satu dimensi utama penggolongan institusi-institusi. Adapun dominasi adalah kondisi keberadaan kode-kode signifikasi. Sementara itu legitimasi merupakan skema peraturan normative yang terungkap dalam tata hukum.
  
d.    Ekonomi Politik Peter Golding dan Graham Murdock
Terdapat sejumlah pandangan krusial ketika kita menempatkan berkelindannya media dengan dimensi ekonomi politik. Jika Mosco menawarkan tiga perspektif, maka Peter Golding dan Graham Murdock (dalam James Currant & Michael Gurevitch, 1991: 15) membagi perspektif ekonomi politik media ke dalam dua perspektif besar yakni perspektif liberal dan perspektif kritis.
Perspektif liberal akan cenderung memfokuskan pada isu pertukaran pasar dimana konsumen akan secara bebas memilih komoditas media media sesuai dengan tingkat kemanfaatan dan kapuasan yang dapat mereka capai berdasarkan penawaran yang ada. Semakin besar pasar memainkan peran, maka semakin luas pula pilihan yang dapat diakses oleh konsumen. Sebagai sebuah produk kebudayaan, media harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk dimiliki oleh siapapun secara bebas dan tak kenal batas.
Golding dan Murdock kemudian lebih memberatkan kajian ekonomi politik media dari perspektif kedua, yakni perspektif kritis. Pertimbangannya adalah bahwa media semestinya dilihat secara lebih holistik, karena produksi, distribusi dan konsumsi media berada dalam sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang strukturnya saling mempengaruhi. Boleh jadi media kemudian mengambil peran di dalam di dalam mendominasi isi pesan dan melegitimasi kelas dominan. Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensinya terhadap komodifikasi produk media. Pada aras inilah maka sesungguhnya perbincangan mengenai ideologi, kepentingan kekuasaan mendapat tempat. Dalam sudut pandang Marxis, preferensi pemilik modal memampukan lembaga media mengambil peran sebagai penyebar kesadaran palsu yang meninabobokan khalayak (reader). Atau, media dapat digunakan untuk melancarkan hegemoni dengan menutupi atau merepresentasikan kepentingan kelas berkuasa. Pada wilayah terakhir ini, produksi teks hakikatnya merupakan bentuk latent dari kekuasaan yang bekerja dalam lembaga media.
Penelitian di bidang ekonomi politik media telah banyak dilakukan oleh para sarjana dan para ahli. Penelitian terdahulu yang mirip dengan penelitian yang saya lakukan adalah penelitian Diana Ariany Sabidi dengan judul “Tinjauan Historis Ekonomi-Politik Komunikasi Dalam Pengakomodasian Kepentingan Negara Asing Dalam Kebijakan FGilm Impor Di Indonesia Periode 1950-2004 .  Ada kesamaan dan perbedaan  antara penelitian saya dengan penelitian Diana Ariany Sabidi. Persamaannya adalah sama-sama meneliti ekonomi -politik  dengan menggunakan paradigma kritis dan studi kasus film impor. Namun ada juga beberapa perbedaan mendasar antara penelitian saya dengan penelitian Diana Ariany Sabidi, antara lain :
1.      Teori ekonomi- politik yang digunakan Diana mengacu teorinya Vincent Moscow dan teori strukuturasi  Anthony Giddens yang relative mikro , sedangkan penelitian yang akan saya lakukan meliputi aspek mikro dan aspek makro yang menggunakan teorinya Peter Golding dan Graham Murdock;
2.      Penelitian Diana A.S menggunakan metode historis, sedangkan penelitian saya menggunakan metode penelitian hermeneutic –kritis Habermas atas teks-teks kebijakan dengan focus menemukan apakah  ada kepentingan dibalik kebijakan terhadap pengenaan pajak royalty film impor.
3.      Dalam menganalisis kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor dalam perspektif ekonomi politik, penulis pada taraf mikro menggunakan pisau analisis teori ekonomi politik komunikasi dari Vincent Mosco  (komodifikasi-spasialisasi-strukturasi ) dan pada taraf makro menggunakan Perspektif Kritis dari Peter Golding dan Graham Murdoch.
4.      Media ( Industri film termasuk di dalamnya ) tidak berada dalam ruang kosong. Industri film berada di tengah berbagai kepentingan normative dan pendapatan ( Negara), dominasi keuntungan dan kekuasaan ekonomi (pengusaha), selera penonton (konsumen/pasar).
Dalam perspektif mikro, media dilihat oleh Mosco pada sisi komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi adalah proses mengubah nilai pakai menjadi nilai tukar atau proses perubahan produk yang nilainya ditentuka oleh kapasitasnya untu memenuhi kebutuhan individu atau kelompok menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat dibawa produk itu ke pasar. Mosco membedakan Komodifikasi terdiri dari komodifikasi  isi pesan dan komodifikasi audiens. Komodifikasi isi pesan media dan audiens ini termaktub dalam komodifikasi intrinsik, di mana nilai tukar yang berusaha didapatkan oleh media semata-mata berasal dari interaksi antara isi dan audiens. Misalkan audiens dianggap senang dengan isi media film yang menyerempet pornografi sambil membicarakan mistis, isi pesan yang mistis cenderung porno ini akan selalu diproduksi dan dirilis, katakanlah mulai film "Jelangkung" sampai yang terakhir "Rintihan Kuntilanak Perawan". Kemungkinan karena topik hantu saja kurang bisa "menjual", semakin lama film hantu semakin dibumbui oleh adegan yang "menyerempet" pornografi, sementara bila produsen film hanya membesut "film panas" tanpa dibumbui mistis, hal itu akan terasa terlalu jelas melanggar norma sosial.
Spasialisasi, yakni proses mengatasi hambatan ruang dan waktu  dalam kehidupan social. Spasialisasi dalam kacamata ekonomi politik media adalah perpanjangan institusi dari kekuasaan perusahaan dalam industry media.
Sebagai contoh adanya kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor bisa dikatakan sebagai upaya Negara “mengerem” monopoli group 21 sebagai importer utama. Kebijakan ini “legitimated” karena ada aturan resmi di belakangnya, yakni Undang-Undang Kepabeanan, artinya bukan sekedar kebijakan individual pimpinan pemerintahan yang represif. Industri film impor sebagai industry hiburan kontennya dimonopoli oleh hegemoni ideology amerika, yang sring mengajarkan “Ramboisasi” dan liberalisasi norma social dan itu akan berdampak pada “frame of  thinking” pada penonton di Indonesia khususnya anak-anak remaja. Kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor dari Negara bisa jadi juga untuk menghindarkan diri dari monopoli “amerikanisasi” industry hiburan khususnya film dan bioskop, serta menumbuhkan importer baru di bidang film dan mendiversifikasi jenis hiburan tidak hanya di monopoli dari amerika.
Contoh lain dapat dikemukakan bahwa dengan diterbitkannya UU Penyiaran No 32 tahun 2002 merupakan satu bentuk campur tangan politik untuk meniadakan monopoli informasi dan kepemilikan modal. Undang-undang ini juga mensyaratkan agar ke depan tidak ada lagi televisi nasional yang siaran di daerah sebelum berjaringan dengan stasiun televisi lokal. Secara politis, kebijakan ini dijalankan untuk menjamin diversity of content, karena sepanjang stasiun televisi nasional masih beroperasi di daerah, maka muatan siarannya hanya akan didominasi oleh muatan dari ‘pusat’. Sementara di sisi lain, secara ekonomi diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk memancing hadirnya media-media baru di tingkat lokal. Sehingga ke depan terjadi diversity of ownership. Ini akan berbeda dengan kondisi sekarang dimana kepemilikan media televisi nampaknya hanya dikuasai oleh sebagian kecil pemilik modal yang berbasis di pusat politik.
Dalam perspektif makro, penulis menggunakan Perspektif  kritis. Pertimbangannya adalah bahwa media semestinya dilihat secara lebih holistik, karena produksi, distribusi dan konsumsi media berada dalam sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang strukturnya saling mempengaruhi. Boleh jadi media kemudian mengambil peran di dalam mendominasi isi pesan dan melegitimasi kelas dominan. Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensinya terhadap komodifikasi produk media. Pada aras inilah maka sesungguhnya perbincangan mengenai ideologi, kepentingan kekuasaan mendapat tempat.
Dalam sisi monopoli group 21, mereka mendominasi isi pesan film , penyebar kesadaran palsu serta meng “hegemoni” wacana perfilman. Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensinya terhadap komodifikasi produk film.
 Dalam sudut pandang Marxis, preferensi pemilik modal memampukan lembaga media mengambil peran sebagai penyebar kesadaran palsu yang meninabobokan khalayak (reader). Atau, media dapat digunakan untuk melancarkan hegemoni dengan menutupi atau merepresentasikan kepentingan kelas berkuasa. Pada wilayah terakhir ini, produksi teks hakikatnya merupakan bentuk latent dari kekuasaan yang bekerja dalam lembaga media.
Seperti diketahui bahwa pasca 2004 telah terjadi liberalisasi di bidang film dan dampaknya terjadi monopoli pemilik modal besar di bidang industry film. Dalam kacamata Marxist , kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor hanyalah proses perebutan dominasi ekonomi antara Negara dengan klas pengusaha, artinya liberalisasi di bidang film telah melahirkan dominasi ekonomi di kalangan kaum borjuis, maka Negara melalui instrument undang-undang dan hukum berusaha mematahkan dominasi ini.
Dalam pandangan Marx, dalam masyarakat industry kapitalis akan terjadi konflik  antara kelas pemilik modal yang menguasai sumber-sumber dan alat-alat produksi (kaum kapitalis/industriawan/kaum borjuis ) dengan  kaum proletar yang tidak mempunyai sumber-sumber dan alat-alat produksi. Representasi dari kaum proletar ini adalah buruh/kaum pekerja di sector swasta. Dimensi ketidaksetaraan kekuasaan ekonomi lah yang menjadi basis teori konflik Marx.
Dari ketidaksetaraan kelompok masyarakat atas kepemilikan sumber-sumber dan alat-alat produksi ini melahirkan perebedaan “Relations of production” dan “Mode of Production” antara kelas borjuis dengan klas proletar. Ketidak setaraan berakar pada ketimpangan struktur ekonomi.
Bagaimana dengan hubungan Negara dan media? . Negara menurut pandangan kaum Marxist adalah representasi dari kaum borjuis dalam kekuasaan politik, artinya, Negara adalah alat legitimasi dari kaum borjuasi untuk tetap menguasai kekuasaan ekonomi melalui instrument politik. Negara menjadi alat kaum borjuis. Sedangkan hubungan Negara dengan media bukan merupakan hubungan antara pemegang otoritas kekuasaan dengan organisasi control, tetapi hubungan antara mode of production dan relation of production yang berbeda gaya saja. Media  juga instrument kaum borjuasi di “pasar ide”, sedangkan Negara instrument kaum borjuasi di “pasar materi”. Dalam pandangan Marxisme Klasik, media dilihat sebagai alat dari kelas yang dominan untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya dan sebagai sarana kelas pemilik modal berusaha melipatgandakan modalnya. Media tentu saja dalam hal ini selalu menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa dalam masyarakat dan maka dari itu menekan kelas-kelas tertentu. Media (juga) sekadar menjadi alat ekonomi belaka dari kaum borjuis sebagai “pabrik ide”. Klas yang berkuasa menguasai bidang material sekaligus bidang ide untuk menekan masyarakat. Klas yang berkuasa menguasai dan mengontrol material dan mental masyarakat.

Monopoli Film tertentu melahirkan hegemoni atas pesan hiburan
Monopoli film impor yang sebagaian besar dari AS yang dikuasai oleh Group 21, jelas akan melahirkan hegemoni wacana hiburan dari film. apa yang dikatakan Douglass Kellner bahwa budaya media dapat menjadi hambatan demokrasi sejauh memproduksi wacana-wacana reaksioner, mempromosikan berbagai penggunggulan terhadap ras, jenis kelamin, usia , kelas serta berbagai bentuk prasangka lain. Hegemoni atas penggungulan amerika sebagai masyarakat pemenang, kuat, kaya, berteknoligi tinggi sebagaimana yang digambarkan dalam film-film amerika, telah menciptakan wacana inferior masyarakat Indonesia terhadap AS. Maka dari kacamata hegemoni ini Gramsci mampu menggambarkan amat elok tentang fenomena ini.
Konsep hegemoni Gramsci  berasal dari bukunya “Selection from The Prison Notebook” (1976: 57-58 ) yang bermula dari penjelasannya tentang basis dari supremasi kelas. Menurut Gramsci, supremasi kelas mewujudkan diri dalam dua cara: dominasi,  dan Kepemimpinan  intelektual dan moral. Dominasi ditegakkan dengan “coercion”, sedangkan  kepemimpinan intelektual dan moral ditegakkan melalui “consensus”.  Yang kedua inilah yang dimaksud HEGEMONI  oleh Gramsci. Hegemoni adalah ranah cultural atau ranah persetujuan. ranah persetujuan ini diperankan oleh apa yang disebut gramsci sebagai masyarakat sipil yang terdiri dari sekolah, universitas, media massa, gereja dll. Institusi-institusi ini secara signifikan memainkan peranan dalam membentuk kesadaran massa. Sedangkan ranah ‘paksaan’ diperankan oleh masyarakat politik seperti tentara, polisi, pengadilan , birokrasi dan pemerintah, yang biasanya kita sebut sebagai Negara, meskipun Gramsci memandang Negara berbeda dari pemahaman kita sehari-hari.
Dengan demikian media massa merupakan ranah persetujuan (consensus) atau ranah cultural yang harus ditegakkan melalui kepemimpinan intelektual dan moral.
Gramsci membedakan antara kepemimpinan intelektual Organik dan kepemimpinan intelektual tradisional..  Kepemimpinan intelektual organic adalah intelektual yang berasal dari klas tertentu bisa jadi dari klas norjuis dan memihak Negara, bisa juga dari klas buruh dan berpihak pada klas buruh. Sedangkan intelektual tradisional dapat dikategorikan sebagai intelektual otonoom dan merdeka dari kelompok social dominan dan memisahkan diri dari tatanan borjuis.
Dalam menyoroti fenomena media sekarang ini, saya memandang bahwa beberapa media hiburan khususnya  film  masih dikuasai oleh kaum intelektual organic yang mengabdi pada kepentingan borjuasi dan Negara. Karena dikuasai oleh kelompok Group 21.  Sekilas ada kolaborasi antara Negara dengan kelompok 21. Maka, dominasi dan hegemoni opini public diperankan oleh kaum borjuis ini menguasai “wacana” masyarakat perfilman. Namun dengan dikeluarkan kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor yang nyata-nyata dimonopoli Group 21 seolah ingin meng “counter” adanya kolaborasi Negara dengan kelompok borjuasi film. Kemuidian akan terjadi demokratisasi dan pemerataan ekonomi di bidang film, dengan juga menciptakan “trickle down effect” bagi tumbuhnya industry lokal cetak film dan industry film lokal.

2.3.        Kerangka Pemikiran

Berdasarkan kajia pustaka di atas, peneliti menyusun kerangka pemikiran teoritik sebagai berikut :




BAB III

PARADIGMA DAN METODE PENELITIAN


3.1.        Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis mempertautkan antara kenyataan dengan kepentingan politik dan kekuasaan dibalik kenyataan. realitas dalam paradigm kritis dianggap sebagai realitas “maya” yang dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, etnik dan jender. Realitas dalam paradigm kritis dipahami sebagai  realitas yang tertutupi oleh struktur  (Denzin dan Lincoln, 2009: 135). Dalam penelitian ini  memperhatikan konteks yang melatarbelakangi kebiajakan atas film impor tersebut dan dibatasi pada konteks nilai-nilai politik dan ekonomi.

3.2.        Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penafsiran  teks hermeneutik –kritis Jurgen Habermas.  Dalam hermenetika,  teks adalah fenomena komunikasi . Teks diinterperetasikan monologis, dialogis, maupun kritis, di mana teks dipahami dari sisi obyektif, subyektif, dan konteks social politik yang melatar belakangi atau dalam pemahaman Jurgen Habermas disebut “Lebenswelt”.
Dengan metode penelitian tersebut,  teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi, observasi, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion, serta analisis konsiderans teks kebijakan film impor baik berujud UU maupun PP

3.3.        Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek penelitian adalah individu yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan pengenaan pajak royalty film impor, misalnya Dirjen Pajak, Menkominfo , Tokoh perfilman dan pihak-pihak terkait,  yang sekaligus menjadi nara sumber atau key informan. Adapun obyek penelitiannya adalah teks undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang menyangkut perfilman, pesan apa yang mau disampaikan dan realitas apa dibalik pesan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Antoni, “Riuhnya Persimpangan Itu, Tiga Srangkai, Solo, 2004
Basrowi Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif, Insan Medika, Surabaya,  2002
Deliarnov, “Ekonomi Politik”,  Erlangga , Jakarta, 2010.
Denzin, Norman  K. and Lincoln, Yvonna S,  Handbook of Qualitative research, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, 2009
Didik J. Rachbini, “Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik”,  Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Pendekatan Politik Ekonomi: Jembatan di antara Ekonomi dan  Politik”, dalam Jurnal Ilmu Politik No 8, 1991, Gramedia, Jakarta, 1991
Douglas Kellner : “Budaya Media”,  Jalasutra, Jakarta, 2010
Mosco , Vincent, The Political Economy of Communication, Sage Publication, London, 1996.
Usman Kansong, “ Ekonomi Media”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009.
McQuail, Denis , Mass Communication Theory, Sage Publication, London, 2000.

Internet :
 http://www.theory org.uk/giddens2.html )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar