BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Bangkitnya Industry film di Indonesia Pasca reformasi dimulai tahun 1998 hingga
tahun 2004. Pada tahun 1998 bersamaan dengan eforia reformasi, film Indonesia
diproduksi kembali dan sedikit demi sedikit diputar di layar lebar. Pada waktu
yang bersamaan pula, perlahan-lahan muncul film yang kebanyakan dibuat oleh
sineas muda yang menandakan kebangkitan industry film Indonesia.. salah
satrunya adalah pemunculan komunitas
film Independen (KONFINDEN), suatu organisasi yang mewadahi gerakan film
Independen. Di samping itu para pembuat film yang mempunyai dana dan pengalaman sinematografi yang mapan juga
berhasil memasukkan film-fiom Indonesia ke bioskop yang ditonton masyarakat
banyak. Apresiasi masyarakat Indonesia terhadap film nasional juga meningkat.
salah satu indikatornya adalah diselenggarakan Jakarta International Film
festival pada tahun 1999. Namun demikian, usaha film impor film dan usaha
perbioskopan masih dikuasai Group 21. Group 21 dengan beberapa anak
perusahaannya yang memonopoli industry
perfilman dan perbioskopan, ini suatu fakta yang tak bisa dipungkiri.
Berbicara industry film Indonesia setidaknya ada 3 aktor
yang akan berusaha melakukan tarik menarik antara
Negara-pasar/konsumen-produsen film. Negara dengan wewenangnya mempunyai
kepentingan terhadap nilai-nilai kebangsaan, moralitas serta keuangan dalam arti
menarik keuntungan dari geliat industry film untuk menambah pemasukan
pendapatan Negara. Kebijakan Negara dalam hal penarikan pendapatan dari film
salah satunya adalah menarik pajak royalty dari film impor. Selama ini importer
film Indonesia hanya membeli cetak film
0,43 us dollar per meter (rata-rata satu
rol film sekitar 3000 meter) . Setelah film diputar di Indonesia, importer
membayar royalty ke produsen film di luar negeri. Tetapi hal itu dianggap oleh
Negara belum menyetor pajak royalty dari film yang sudah diputar di Indonesia,
karena royalty yang dibayarakan importer Indonesia belum dilaporkan kepada
Negara. Menurut Undang-Undang kepabeanan tahun 2006 royalti barang impor
diperhitungkan sebagai komponen nilai pabean alias wajib dikenai bea atau pungutan.
Dari hasil pencatatan pihak Ditjend bea Cukai selama 2 tahun dari 1759 judul
film impor sekurangnya ada 30 milyar rupiah yang belum disetor Negara.
Tetapi kalangan importer film di Indonesia menganggap
bahwa harga pembelian cetak film ini nantinya sudah kena bea masuk 10 persen,
PPN 10 persen dan pajak penghasilan 2,5 persen (Tempo, 6 Maret 2011).
Dari sisi produsen film, kebijakan pajak royalty atas
film impor di samping akan berakibat “kerugian” dari sisi financial juga
diperkirakan akan menggeser “monopoli” importer tertentu. Oleh karena itu,
kalangan importer mengancam akan menghentikan impor film-film Hollywood
manakala kebijakan pajak royalty benar-benar akan dikenakan. Seperti diketahui
bahwa Group 21 menguasai 6 produsen film
anggota MPA (Motion Picture Association) dan
mengendalikan jaringan bioskop di Indonesia lewat PT Nusantara Sejahtera
Raya. Group 21 Menguasai 130 bioskop dari 178 bioskoip di Indonesia,
group ini dituding menghambat kiprah film lokal/nasional dengan gelontoran film
impor. Patut dicatat, tahun 2010 dari
207 film asing 144 judul berasal dari AS (sebagai besar dari MPA),
sedangkan film nasional hanya 77 judul. Fakta tadi hanyalah gunung es yang
muncul di permukaan, di bawahnya terkandung substansi permasalahan adanya tarik
menarik pertarungan antara Negara dengan pengusaha film mengenai “Monopoli,
Dominasi- Hegemoni” dalam industry Film di Indonesia
Dalam perspektif ekonomi politik : maka analisa ini akan
mempertautkan antara motif politik di balik kebijakan ekonomi negara(pengenaan
pajak royalty film impor) berhadapan dengan motif politik importer film dibalik penolakan mereka atas kebijakan ini.
1.2.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
ada motif politik dan ekonomi dari
pemerintah dibalik kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor
2. Bagaimana
perkiraan dampak dari kebijakan
pengenaan pajak royalty film impor bagi peredaran film impor dan tumbuhnya
produksi film local.
1.3.
Tujuan
Tujuan
diadakan penulisan ini adalah :
a. Untuk
mengetahui motif politik dan ekonomi dari
pemerintah dibalik kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor
b. untuk
mengetahui perkiraan dampak dari
kebijakan pengenaan pajak royalty film impor bagi peredaran film impor dan
tumbuhnya produksi film local
1.4.
Signifikansi
Penelitian
a. Siginifikansi Akademis
- Studi
ini merupakan usaha untuk mengembangkan pemikiran teoritik ekonomi politik
media dalam kasus kebijakan pengenaan pajak royalty film impor.
b. Signifikansi Praktis
- Hasil
studi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi praktis bagi pelaku
bisnis di bidang industri film di Indonesia
- Hasil
studi ini diharapkan bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang industry
film di Indonesia.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Pengertian
Ekonomi Politik
Sebelum mendefinisikan apa itu ekonomi politik, perlu
ditelusuri akar dari istilah ekonomi-politik agar pembahasan ekonomi politik
tidak keluar dari jalurnya. Istilah ekonomi politik merupakan “campuran” dari istilah ekonomi dan istilah politik,
tentu saja juga merupakan perjumpaan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik.
Apakah perjumpaan antara ilmu ekonomi dengan ilmu politik melahirkan
“resiproksitas” atau melahirkan disiplin baru, adalah pertanyaan pertanyaan
yang perlu dijawab dalam buku ini.
Ekonomi (Yunani : oikos= rumah tangga. Nomos = aturan,
mengatur), apapun definisinya akan berkenaan dengan pemecahan masalah-masalah yang berkisar pada
produksi, distribusi-alokasi, mobilisasi konsumsi barang dan jasa dalam suatu
perusahaan, masyarakat atau pun Negara. Produksi, distribusi-alokasi, moblisasi
konsumsi merupakan problem dasar di setiap bentuk perekonomian atau sistem
ekonomi, apakah pada sistem sosialisme atau liberalism yang merupakan 2 system
ekonomi yang ekstrim.
Sedangkan Politik, apapun definisinya akan berkenaan
dengan Negara, kekuasaan, kebijakan, pengambilan keputusan, distribusi dan
alokasi, serta kebaikan bersama. Diantara 6 unsur politik tersebut, ada 3 unsur
yang menonjol dan sering diamati yaitu :
unsur kekuasaan, Negara, kebijakan.
Politik sebagai seni dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat nampak
pada cara bagaimana sekelompok orang berusaha bagaimana mereka merebut
kekuasaan, mempertahankan, maupun merebut kekuasaan. Politik pada tingkat
pemerintah dan lingkup Negara, berkenaan dengan pembuatan dan penerapan
kebijakan pemerintah dan negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah dan atau Negara
dituangkan dalam bentuk konstitusi, Undang-undang, peraturan pemerintah maupun
peraturan-peraturan di bawahnya.
Dengan demikian, ekonomi “an sich” secara klasik sesungguhnya berbicara pada
tataran mikro, akan tetapi apabila ekonomi dipadukan dengan politik sebagai
sesuatu yang “innate” maka ekonomi memasuki dunia makro yakni dunia kekuasaan
dan dunia kebijakan pemerintah atau Negara.
Di dalam tataran akademik, baik dalam bidang ilmu ekonomi
maupun bidang politik, perjumpaan ilmu
ekonomi dan politik ini melahirkan dua istilah baru dalam kedua disiplin
tersebut : Ekonomi Politik dan Politik ekonomi.
Dalam perjumapaan ilmu ekonomi dan ilmu politik ini,
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menyatakan bahwa perbauran ilmu ekonomi dan ilmu
politik bisa menghasilkan salah satu dari metode analisis berikut :
1. Metode
analisis politik-ekonomi, yakni yang
dapat dikatakan sebagai penerapan dari cara pendekatan yang berasal dari teori
politik untuk memahami permasalahn ekonomi atau the political theory of economics
2. Metode
analisis ekonomi- politik yang
merupakan penerapan dari cara pendekatan yang bersumber pada teori ekonomi
untuk memahami permasalah politik atau The economc theory of politics
Metode analisis politik-ekonomi adalah jelas yang oleh pakar ilmu social
sering dijuluki political-economy, di mana teori politik dicoba dimanfaatkan
untuk memahami berbagai permasalahan ekonomi, yakni dilakukan atas dasar alasan
bahwa teori ekonomi tidak mampu lagi menerangkan secara memuaskan suatu
peristiwa ekonomi yang terjadi. Kelompok pakar politik –ekonomi berlainan
dengan pakar ekonomi murni, yang tidak berhenti pada variable atau parameter
ekonomi dalam memahami peristiwa ekonomi yang terjadi. Pakar politik- ekonomi
akan menyelidiki aktor-aktor yang terlibat dalam gerakan dari variable atau
parameter ekonomi dengan menghubungkan dengan actor yang terlibat, serta
menghubungkan actor yang terlibat dengan struktur sosial dan politik yang ada.
Sedangkan pakar ekonomi-politik justru mencoba
menerangkan apa tindakan tindakan ekonomi yang dilakukan oleh para actor
tertentu pada waktu mereka melakukan kegiatan politik, di belakang kegiatan
politik actor tertentu ada motivasi ekonomi yang mendasari kegiatan itu (Jurnal Ilmu Politik No.8/1991, hal 5-6 ).
Ekonomi politik menurut Adam Smith dalam buku
The Wealth of Nations adalah suatu
cabang ilmu tentang teori evolusi
kemasyarakatan di mana inti dari perkembangan ekonomi secara sitematis
dikaitkan dengan perubahan social dan politiik (dalam Dawam Rahardjo: Esei-Esei
ekonomi Politik, 1988, hal. viii)
Sedangkan ekonomi politik menurut Staniland
dalam buku What isi political economy? A Study of social Theory and
underdevelopment (1985) adalah studi tentang teori social dan keterbelakangan, hubungan
antara politik dan ekonomi, baik secara eksplanatoris maupun normatif ( Dalam
Deliarnov: Ekonomi Politik, 2011: 8)
Menurut Caporaso & Levina (1993) pada
awalnya Ekonomi politik dimaksudkan untuk memberikan saran mengenai pengelolaan
masalah-masalah ekonomi politik pada waktu itu sebagai pengelolaan
masalah-masalah ekonomi Negara ( political Economy referred to the management
of economic affairs of the state ). Selanjutnya, ekonomi politik oleh
pakar-pakar ekonomi politik baru lebih diartikan sebagai analisis ekonomi
terhadap proses politik. Dalam kajian tersebut mereka mempelajari institusi
pilitik sebagai entitas yang bersinggungan dengan pangambilan keputusan ekonomi
politik, yang berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan dan pilihan public, baik
untuk kepentingan kelompoknya maupun untuk kepentingan masyarakat luas.
Dalam penggabungan analisi ekonomi dengan
politik oleh pakar-pakar ekonomi politik baru, banyak yang curiga bahwa para
ekonom telah melakukan penjajahan dan mengambil alih tugas para pakar politik.
Kecurigaan ini bukannya tidak berdasar, sebab menurut Albert O. Hirschman dalam
Easy in Trespassing: Economics to
Politics and Beyond (1981), Ekonomi politik memang merupakan penjajahan
dari ilmu ekonomi ke dalam ilmu politik.
Jika istilah “Penjajahan” terdengar terlalu
kasar, dalam bahasa yang lebih netral Ekonomi Politik merupakan peralihan yang
eksalatif dari ilmu Ekonomi klasik yang
sederhana menuju Ilmu Ekonomi pembangunan yang semakin kompleks dank
arena itu semakin menarik untuk dikaji lebih mendalam ( Leo Agustino, 2000 ).
Bahwa ekonomi politik merupakan penjajahan
ilmu ekonomi terhadap ilmu politik atau peralihan eskalatif dari ilmu ekonomi
murni ke ekonomi pembangunan yang lebih kompleks sebetulnya tidak sepenuhnya
benar. Buktinya, para pakar politik juga mampu memperlihatkan bahwa system
politik menentukan hubungan antara mereka yang memiliki kekuatan politik dengan
yang kurang atau yang tidak memiliki kekuatan. Selain itu, system politik
menentukan hubungan anatar penguasa ( ruler) dengan masyarakat.
Degan demikian bagi ahli ekonomi politik,
kegiatan ekonomi, seperti kegiatan-kegiatan lain dalam masyarakat, tidak
terlepas dari konteks politik. Tegasnya, system politik tidak hanya membentuk
power relationship dalam masyarakat, tetapi juga menentukan nilai-nilai serta
norma-norma yang sedikit banyak akan menentukan apa dan bagaimana berbagai
kegiatan ekonomi dilaksanakan dalam masyarakat.
Dalam pandangan saya pribadi, ekonomi-politik adalah bahwa dalam kegiatan politik aktor tertentu “ditunggangi” oleh motif ekonomi atau ekonomi menunggangi
kegiatan politik. Dalam pengertian yang lebih diperas lagi, ekonomi politik
adalah analisis bagaimana “market”
menunggangi “power”, bagaimana
prosesnya, siapa yang diuntungkan atau dirugikan dari kebijakan politik. Bagaimana proses dan Implikasi dari kebijakan
politik ini (di bidang apapun termasuk di bidang Media ) siapa yang diuntungkan
dan siapa yang dirugikan.
Adapun politik-ekonomi
adalah dalam kegiatan ekonomi actor
tertentu “ditunggangi” oleh motif
politik, atau politik “menunggangi”
kegiatan ekonomi. Dalam pengertian yang lebih diperas lagi, politik-ekonomi
adalah analisis bagaimana “power”
menunggangi “market”, bagaimana
prosesnya, siapa yang diuntungkan atau dirugikan dari kebijakan ekonomi. Bagaimana proses dan Implikasi dari kebijakan
ekonomi ini (di bidang apapun termasuk di bidang Media ) siapa yang diuntungkan
dan siapa yang dirugikan.
2.2.
Ekonomi
Politik Media
Schiller ( 2001:319 ) menjelaskan dalam teori
imperialisme budaya bahwa terjadi dominasi oleh Negara dunia pertama terhadap
Negara dunia ketiga yang akhirnya menyebabkan jurang ketertinggalan yang amat
besar diantara kedua kelompok Negara-negara ini. Ketika ada usaha mengubah
ketertinggalan ini, campur tangan pihak asing muncul untuk mempertahankan
situasi dengan menawarkan keuntungan kepada pihak lokal yang mendominasi, atau
sering disebut the national elites.
Mc Chesney ( http://www.monthlyreview.org/301rwn.html
) memaparkan bahwa fenomena ini akhirnya memicu terbentuknya dua lapisan
perusahaan media dalam system media global. Lapisan pertama diduduki oleh
media-media transnasional dan lapisan kedua terdiri dari perusahaan-perusahaan
media yang mendukung perusahaan-perusahaan di lapisan pertama. Lapisan kedua
ini adalah perusahaan media lokal yang mendominasi pasaran nasional di
Negara-negara mereka sendiri. Koordinasi ini tidak hanya mempengaruhi perilaku
ekonomi, namun juga membuat membuat perusahaan media multinasional lebih
efektif melakukan lobi di level nasional, regional, bahkan global. Pada system
media yang terintegrasi secara global ini public cenderung hanya sedikit
memberikan masukan, bahkan tidak memberikan masukan sama sekali.
Schiller sendiri menggunakan istilah imperialism budaya
untuk menjelaskan bagaimana perusahaan multinasional besar-termasuk media di
Negara maju-mendominasi Negara berkembang. Imperialisme budaya menjelaskan
bahwa suatu masyarakat dibawa kedalam system Negara yang mendominasi ketika jenjang
yang mendominasi masyarakat itu di tekan dan dipaksa membentuk
institusi-institusi sosialnyaberkolerasi dan mendukung nilai-nilai dan struktur
dari pusat dominasi sistem itu. Dependensi yang berkelanjutan antara dunia
pertama dan dunia ketiga membentuk imperialisme baru karena melanggengkan
praktik-praktik dominasi: Negara dunia ketiga hanya mendapatkan keuntungan
sedikit dari praktek itu, salah satunya terjadi dalam industri film amerika
serikat.
Schiller lebih lanjut menjelaskan dalam argumennya mengenai
imperialisme bahwa pemerintah amerika serikat menekan pemerintah asing dan
perusahaannya untuk memastikan distribusi yang lebih besar bagi film buatan
Negara itu. Tujuannya untuk mempromosikan nilai-nilai yang menguntungkan
kepentingan geo politik amerika serikat dan mempromosikan kepentingan komersial
produk-produk buatan Negara itu.
a. Ekonomi politik Noam Chomsky
Chomsky
menulis buku Manufacturing Consent: the
political Economy of the Mass Media bersama dengan Edward S. Herman. Buku
ini menggunakan model propaganda sebagai kerangka kerja untuk menganalisis dan
memahami bagaimana cara kerja media US pada umumnya dan mengapa mereka
melakukan seperti itu.
Sebagaimana
sarjana media radikal lainnya, mereka mulai dari asumsi bahwa media melayani
elit dominan. Ini terjadi ketika media secara langsung dikontrol oleh Negara
dan untuk mengangkat fungsinya media harus melakukan propaganda secara
sistematis.
Model
propaganda Herman dan Chomsky menggabungkan elemen politik dan instrumental yang mempengaruhi,
yang melibatkan 5 saringan, yaitu (1) ukuran, pemusatan pemilikan,kemakmuran
pemilik dan orientasi keuntungan, (2) iklan sebagai pemasukan utama media massa, (3)
ketergantungan media pada informasi yang disediakan oleh pemerintah, bisnis dan
ahli yang dibiayai dan didukung oleh sumber utama dan agen penguasa,(4) Flak
sebagai sarana pendisiplinan media, (5) anti komunisme sebagai mekanisme
kontrol dan “agama” nasional.
b. Ekonomi politik Vincent
Mosco
Bagaimana
konstelasi media di tengah situasi ekonomi dan politik? Itu barangkali
merupakan pertanyaan terakhir yang harus dijawab pada saat seorang reader
hendak mengakhiri pembacaan terhadap produk media. Makna akhir dari sebuah
“pembacaan” sebenarnya adalah sebuah gambaran tentang sejauh mana media
mengambil posisi di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi dalam seting kepemilikan (ekonomi) dan seting kekuasaan
(politik). Wilayah ini barangkali adalah abstraksi yang paling advanced.
Penelusuran dari taraf mikro (tekstual) tiba-tiba dihadapkan pada serangkaian
konsep teoritik tentang relasi sosial, ekonomi dan jalinan kekuasaan yang
berlangsung dalam produksi dan distribusi bahasa media. Dalam menjelaskan
relasi ini, Vincent Mosco menawarkan tiga konsep penting untuk mendekatinya
yakni: komodifikasi (commodification),
spasialisasi (spatialization) dan strukturasi( structuration)
(Mosco, 1996:139).
Menurut Vincent Mosco (1995), “political economy is the study of the social
relations, particularly the power relations, that mutually constitute the
production, distribution, and consumption of resources, including communication
resources.” Mosco offers three concepts
for the application of political economy to the field of communications:
·
Commodification
– The process of taking goods and services that are valued for their utility
and turning them into commodities. Mosco (1996) defines commodification as “the
process of transforming use values into exchange values, of transforming
products whose value is determined by their ability to meet individual and
social needs into products whose value is set by what they can bring in the
marketplace.” Commodification is the term for a process in which a product’s
value deriving from human want or need (use value) is transformed into the
value it could get from exchange (exchange value) (p.141). An example of this
in relation to the mass media would be the commodification of audiences, and,
increasingly, cybernetic commodification in the form of electronic information
about our consumption habits.
·
Spatialization
– The process of overcoming the constraints
of space and time in social life (Mosco, 1996).
·
Structuration
– The third entry point is structuration,
developed from Anthony Giddens theory of structuration, whereby the
interconnections of structure and action are understood to reproduce social
life (p.212). Mosco examines aspects of the structuration of the communications
industry in terms of the dimensions of class, gender and race. These he
suggests are mutually constitutive categories in terms of structuration
processes (p.239) and that two possibilities for considering them together are
to be found in the focus on social movements and hegemonic processes. This
entry-point incorporates the idea of agency, social process and social practice
into the analysis of structures.
Komodifikasi berhubungan
dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya
menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Memang terasa
aneh, karena produk media umumnya adalah berupa informasi dan hiburan.
Sementara kedua jenis produk tersebut tidak dapat diukur seperti halnya barang
bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi konvensional. Aspek tangibility-nya
akan relatif berbeda dengan ‘barang’ dan jasa lain. Kendati keterukuran
tersebut dapat dirasakan secara fisikal, tetap saja produk media menjadi barang
dagangan yang dapat dipertukarkan dan berilai ekonomis. Dalam lingkup
kelembagaan, awak media dilibatkan untuk memproduksi dan mendistribusikannya ke
konsumen yang beragam. Boleh jadi konsumen itu adalah khalayak pembaca media cetak,
penonton televisi, pendengar radio, bahkan negara sekalipun yang mempunyai
kepenyingan dengannya. Nilai tambahnya akan sangat ditentukan oleh sejauh mana
produk media memenuhi kebutuhan individual maupun sosial.
Lebih
jauh Mosco menjelaskan bahwa bentuk komoditas di dalam komunikasi ada dua,
yaitu komodifikasi isi media dan komodifikasi audiens. Isi pesan atau produk
atau kreasi media adalah bentuk komodifikasi yang utama. Kumpulan informasi dan
data yang tidak bermakna pada awalnya kemudian diolah sedemikian rupa oleh
media untuk mendapatkan "nilai tukar". Ada media yang mentransaksikan
isi media tersebut langsung dengan audiens atau pengakses pesan, ada media yang
"menjualnya" melalui pengiklan baru ke audiens. Tindakan media yang
terakhir inilah yang disebut oleh Mosco sebagai komodifikasi audiens. Pengelola
media (komersial) menjual kuantitas audiens pada pengiklan, semakin besar
jumlah audiens yang mengakses isi media akan memiliki semakin tinggi nilai di
mata pengiklan. Tak heran ada seorang ahli ekonomi politik media Indonesia yang
menyebut audiens sebagai "buruh"-nya media.
Komodifikasi
isi pesan media dan audiens ini termaktub dalam komodifikasi intrinsik, di mana
nilai tukar yang berusaha didapatkan oleh media semata-mata berasal dari
interaksi antara isi dan audiens. Misalkan audiens dianggap senang dengan isi
media film yang menyerempet pornografi sambil membicarakan mistis, isi pesan
yang mistis cenderung porno ini akan selalu diproduksi dan dirilis, katakanlah
mulai film "Jelangkung" sampai yang terakhir "Rintihan
Kuntilanak Perawan". Kemungkinan karena topik hantu saja kurang bisa
"menjual", semakin lama film hantu semakin dibumbui oleh adegan yang
"menyerempet" pornografi, sementara bila produsen film hanya membesut
"film panas" tanpa dibumbui mistis, hal itu akan terasa terlalu jelas
melanggar norma sosial.
Selain
hal-hal yang langsung berkaitan dengan isi media dan audiens, tindakan lain
yang termasuk di dalam komodifikasi adalah komodifikasi ekstensif. Komodifikasi
jenis ini adalah sebentuk proses ekspansi komodifikasi ke luar dari isi media.
Komodifikasi ekstensif bisa berasal dari bidang apa saja. Bisa semua bidang
dalam jangkauan sosial, politik, dan ekonomi. Intinya adalah melakukan
tindakan-tindakan yang secara tidak langsung berhubungan dengan media dan
segala elemennya. Kehadiran tiga menteri dalam premier "Eat Pray
Love" memberikan promosi tambahan untuk film tersebut. Hanya karena film
tersebut melakukan syuting di Bali, tiga menteri, yaitu Menteri Perdagangan
Mari Elka Pangestu, Menteri Kesehatan Endang Rahayu, dan tentunya Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, serta istri Wakil Presiden Boediono,
Herawati Boediono, sampai harus datang menontonnya pertama-kali di Indonesia.
Semua tindakan yang dilakukan oleh produsen pesan media atau pihak-pihak
tertentu yang berkaitan dengan isi kreasi media adalah salah satu bentuk
"komodifikasi ekstensif"
Bentuk
komodifikasi lain yang termasuk di dalam komodifikasi ekstensif adalah
komodifikasi pekerja (media). Mosco menjelaskan bahwa komodifikasi pekerja
dapat melalui dua jalan, yaitu mengatur fleksibilitas dan kontrol atas pekerja
dan "menjual" pekerja tersebut untuk meningkatkan nilai tukar dari
isi pesan media (hal.157). "Jalan" pertama terutama semakin mudah
dilakukan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin
maju dan konglomerasi media yang semakin meraja. Misalkan saja seorang jurnalis
yang bekerja untuk satu perusahaan media padahal media tersebut memiliki
"output" yang beragam, mulai dari cetak sampai online.
"Jalan" kedua juga galib dilakukan. Contohnya adalah dikontraknya
Tera Patrick untuk bermain film di Indonesia. Dia yang merupakan bintang film
porno di Amerika jelas menjadi bagian yang ampuh untuk menarik penonton. Cara
serupa sebelumnya juga dilakukan dengan mengontrak Miyabi alias Maria Ozawa.
Selain terjadi untuk pekerja media yang "tampil", hal serupa juga
dilakukan untuk pekerja media di balik layar, misalnya produser dan camera
person, bahkan penyanyi untuk OST di dalam film dan game. Intinya, pekerja
media pun merupakan elemen yang penting bagi komodifikasi.
Istilah
komodifikasi bukannya tanpa kritik. Ilmu tentu saja akan mati dan berhenti
berkembang tanpa kritik. Kritik yang utama atas komodifikasi adalah hilangnya
esensialisme di dalam konsumsi isi media. Bahwa tindakan atas isi media bisa
dilakukan, namun konsumsi isi media adalah otonomi tak terbatas milik audiens
atau pengakses. Salah satu pemikir yang mengritik komodifikasi adalah Claus
Offe (1984) yang melansir istilah "rekomodifikasi administratif".
Inti dari kritik Offe adalah di dalam budaya konsumsi seperti era
postmodernisme, mekanisme pasar telah gagal untuk "melawan" kuasa
audiens. Dekomodifikasi kemudian melibatkan juga program dan regulasi yang
mematahkan kepentingan produsen terlalu banyak. Pemikiran Offe tentang
rekomodifikasi ini juga sejalan dengan pemikiran Max Weber ketika mengritik
birokratisasi di mana kondisi yang tercipta seringkali berasal dari mekanisme
non-pasar.
Kritik
lain untuk komodifikasi adalah keragaman cara pandang. Sekalipun komodifikasi
itu pervasif dan berpengaruh kuat, prosesnya tidaklah singular. Proses
komodifikasi terjadi timbal-balik di dalam kehidupan publik dan privat. Tiga
orang tokoh yang berada dalam klasifikasi kritik ini, yaitu Jurgen Habermas, Stuart
Hall, dan Anthony Giddens. Menurut Habermas, kehidupan publik dan privat tidak
dapat dipisahkan. Inilah yang disebutnya dunia-kehidupan (Lebenswelt) atau bisa
disebut juga intersubyektivitas. Inilah yang kemudian membentuk identitas dan
terbawa dalam kehidupan publik. Stuart Hall menyampaikan kritiknya lebih jelas
lagi. Menurutnya, kapitalisme selalu membawa ketakstabilan dalam identitas,
termasuk narsisme identitas personal. Hal ini berkaitan erat dengan otonomi
personal yang tidak bisa dipengaruhi oleh tindakan eksternal secara mudah.
Kritisi terakhir dalam domain ini adalah Giddens. Ia melihat bahwa kehidupan
privat dan publik merupakan "proyek eksistensial" individu, di mana
dualitas selalu menampilkan diri. Di dalam proyek eksistensial tadi sangatlah
penting untuk kondisi seseorang menghidupi personalnya dan upayanya untuk
"menyediakan" sumber daya moral untuk hidup dan memuaskan
eksistensinya (hal. 166).
Spasialisasi,
berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan pembaca
dalam batasan ruang dan waktu. Pada aras ini maka struktur kelembagaan media
menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk
media di hadapan khalayak. Perbincangan mengenai spasialisasi berkaitan dengan
bentuk lembaga media, apakah berbentuk korporasi yang berskala besar atau
sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak, apakah bersifat monopoli atau
oligopoli, konglomerasi atau tidak. Acapkali lembaga-lembag ini diatur secara
politis untuk menghindari terjadinya kepemilikan yang sangat besar dan
menyebabkan terjadinya monopoli produk media. Sebagai contoh, diterbitkannya UU
Penyiaran No 32 tahun 2002 merupakan satu bentuk campur tangan politik untuk
meniadakan monopoli informasi dan kepemilikan modal. Undang-undang ini juga
mensyaratkan agar ke depan tidak ada lagi televisi nasional yang siaran di
daerah sebelum berjaringan dengan stasiun televisi lokal. Secara politis,
kebijakan ini dijalankan untuk menjamin diversity of content, karena sepanjang
stasiun televisi nasional masih beroperasi di daerah, maka muatan siarannya
hanya akan didominasi oleh muatan dari ‘pusat’. Sementara di sisi lain, secara
ekonomi diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk memancing hadirnya
media-media baru di tingkat lokal. Sehingga ke depan terjadi diversity of
ownership. Ini akan berbeda dengan kondisi sekarang dimana kepemilikan media
televisi nampaknya hanya dikuasai oleh sebagian kecil pemilik modal yang
berbasis di pusat politik.
Terakhir,
strukturasi berkaitan dengan relasi
ide antaragen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis
struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial
saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari
struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir dari
strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan
diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang
masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang strukturasi ini pada
mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens (Mosco, 1996: 212).
c. Teori strukturasi Anthoni Giddens
Giddens
menjelaskan bahwa agen manusia dan struktur social mempunyai hubungan satu sama
lain: dan pengulangan aksi oleh agen manusia inilah yang memproduksi struktur
social. Ini membuktikan adanya struktur social-tradisi, institusi,kode moral,
dan cara-cara yang telah disepakati untuk melakukan sesuatu. Namun demikian,
struktur social ini dapat berubah ketika manusia mulai menghiraukan, mengganti,
ataupun mereproduksi struktur social itu dengan cara yang berbeda.
Menurut
Giddens ( 2003:36 ) ada tiga dimensi strukutral sistem sosial yakni
signifikansi, dominasi, dan legitimasi.
Berdasarkan
tabel, modalitas strukturasi
berfungsi menjelaskan dimensi-dimensi utama dualitas struktur dalam interaksi
yang menghubungkan kapasitas yang diketahui dari para agen dengan sifat-sifat structural. Skema interpretative adalah
cara-cara penetapan jenis yang dimasukkan dalam gudang pengetahuan actor, yang
secara refleksif diterapkan dalam melakukan komunikasi. Signifikansi adalah symbol-simbol yang disisipkan dalam urutan
simbolis sebagai satu dimensi utama penggolongan institusi-institusi. Adapun dominasi adalah kondisi keberadaan
kode-kode signifikasi. Sementara itu legitimasi
merupakan skema peraturan normative yang terungkap dalam tata hukum.
d. Ekonomi Politik Peter
Golding dan Graham Murdock
Terdapat
sejumlah pandangan krusial ketika kita menempatkan berkelindannya media dengan
dimensi ekonomi politik. Jika Mosco menawarkan tiga perspektif, maka Peter
Golding dan Graham Murdock (dalam James Currant & Michael Gurevitch, 1991:
15) membagi perspektif ekonomi politik media ke dalam dua perspektif besar
yakni perspektif liberal dan perspektif
kritis.
Perspektif liberal
akan cenderung memfokuskan pada isu pertukaran pasar dimana konsumen akan
secara bebas memilih komoditas media media sesuai dengan tingkat kemanfaatan
dan kapuasan yang dapat mereka capai berdasarkan penawaran yang ada. Semakin
besar pasar memainkan peran, maka semakin luas pula pilihan yang dapat diakses
oleh konsumen. Sebagai sebuah produk kebudayaan, media harus diberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk dimiliki oleh siapapun secara bebas dan tak
kenal batas.
Golding
dan Murdock kemudian lebih memberatkan kajian ekonomi politik media dari
perspektif kedua, yakni perspektif
kritis. Pertimbangannya adalah bahwa media semestinya dilihat secara lebih
holistik, karena produksi, distribusi dan konsumsi media berada dalam sebuah
lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang strukturnya saling mempengaruhi.
Boleh jadi media kemudian mengambil peran di dalam di dalam mendominasi isi
pesan dan melegitimasi kelas dominan. Pemilik modal bisa mengambil keuntungan
atas preferensinya terhadap komodifikasi produk media. Pada aras inilah maka
sesungguhnya perbincangan mengenai ideologi, kepentingan kekuasaan mendapat
tempat. Dalam sudut pandang Marxis, preferensi pemilik modal memampukan lembaga
media mengambil peran sebagai penyebar
kesadaran palsu yang meninabobokan khalayak (reader). Atau, media
dapat digunakan untuk melancarkan hegemoni dengan menutupi atau
merepresentasikan kepentingan kelas berkuasa. Pada wilayah terakhir ini, produksi
teks hakikatnya merupakan bentuk latent dari kekuasaan yang bekerja dalam
lembaga media.
Penelitian
di bidang ekonomi politik media telah banyak dilakukan oleh para sarjana dan
para ahli. Penelitian terdahulu yang mirip dengan penelitian yang saya lakukan
adalah penelitian Diana Ariany Sabidi dengan judul “Tinjauan Historis Ekonomi-Politik Komunikasi Dalam Pengakomodasian
Kepentingan Negara Asing Dalam Kebijakan FGilm Impor Di Indonesia Periode
1950-2004 . Ada kesamaan dan
perbedaan antara penelitian saya dengan
penelitian Diana Ariany Sabidi. Persamaannya adalah sama-sama meneliti ekonomi -politik
dengan menggunakan paradigma kritis dan
studi kasus film impor. Namun ada juga beberapa perbedaan
mendasar antara penelitian saya dengan penelitian Diana Ariany Sabidi, antara
lain :
1. Teori
ekonomi- politik yang digunakan Diana mengacu teorinya Vincent Moscow dan teori
strukuturasi Anthony Giddens yang
relative mikro , sedangkan penelitian yang akan saya lakukan meliputi aspek
mikro dan aspek makro yang menggunakan teorinya Peter Golding dan Graham
Murdock;
2. Penelitian
Diana A.S menggunakan metode historis, sedangkan penelitian saya menggunakan
metode penelitian hermeneutic –kritis Habermas atas teks-teks kebijakan dengan
focus menemukan apakah ada kepentingan
dibalik kebijakan terhadap pengenaan pajak royalty film impor.
3. Dalam
menganalisis kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor dalam perspektif
ekonomi politik, penulis pada taraf mikro
menggunakan pisau analisis teori ekonomi politik komunikasi dari Vincent
Mosco
(komodifikasi-spasialisasi-strukturasi ) dan pada taraf makro menggunakan Perspektif Kritis dari
Peter Golding dan Graham Murdoch.
4. Media
( Industri film termasuk di dalamnya ) tidak berada dalam ruang kosong.
Industri film berada di tengah berbagai kepentingan normative dan pendapatan (
Negara), dominasi keuntungan dan kekuasaan ekonomi (pengusaha), selera penonton
(konsumen/pasar).
Dalam perspektif mikro, media dilihat oleh Mosco
pada sisi komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi adalah
proses mengubah nilai pakai menjadi nilai tukar atau proses perubahan produk
yang nilainya ditentuka oleh kapasitasnya untu memenuhi kebutuhan individu atau
kelompok menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat dibawa
produk itu ke pasar. Mosco membedakan Komodifikasi terdiri dari komodifikasi
isi pesan dan komodifikasi audiens. Komodifikasi isi pesan media dan
audiens ini termaktub dalam komodifikasi intrinsik, di mana nilai tukar yang
berusaha didapatkan oleh media semata-mata berasal dari interaksi antara isi
dan audiens. Misalkan audiens dianggap senang dengan isi media film yang
menyerempet pornografi sambil membicarakan mistis, isi pesan yang mistis
cenderung porno ini akan selalu diproduksi dan dirilis, katakanlah mulai film
"Jelangkung" sampai yang terakhir "Rintihan Kuntilanak
Perawan". Kemungkinan karena topik hantu saja kurang bisa
"menjual", semakin lama film hantu semakin dibumbui oleh adegan yang
"menyerempet" pornografi, sementara bila produsen film hanya membesut
"film panas" tanpa dibumbui mistis, hal itu akan terasa terlalu jelas
melanggar norma sosial.
Spasialisasi,
yakni proses mengatasi hambatan ruang dan waktu
dalam kehidupan social. Spasialisasi dalam kacamata ekonomi politik
media adalah perpanjangan institusi dari kekuasaan perusahaan dalam industry
media.
Sebagai
contoh adanya kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor bisa dikatakan
sebagai upaya Negara “mengerem” monopoli group 21 sebagai importer utama.
Kebijakan ini “legitimated” karena ada aturan resmi di belakangnya, yakni
Undang-Undang Kepabeanan, artinya bukan sekedar kebijakan individual pimpinan
pemerintahan yang represif. Industri film impor sebagai industry hiburan
kontennya dimonopoli oleh hegemoni ideology amerika, yang sring mengajarkan “Ramboisasi” dan liberalisasi norma
social dan itu akan berdampak pada “frame
of thinking” pada penonton di
Indonesia khususnya anak-anak remaja. Kebijakan pengenaan pajak royalty atas
film impor dari Negara bisa jadi juga untuk menghindarkan diri dari monopoli
“amerikanisasi” industry hiburan khususnya film dan bioskop, serta menumbuhkan
importer baru di bidang film dan mendiversifikasi jenis hiburan tidak hanya di
monopoli dari amerika.
Contoh
lain dapat dikemukakan bahwa dengan diterbitkannya UU Penyiaran No 32 tahun
2002 merupakan satu bentuk campur tangan politik untuk meniadakan monopoli
informasi dan kepemilikan modal. Undang-undang ini juga mensyaratkan agar ke
depan tidak ada lagi televisi nasional yang siaran di daerah sebelum berjaringan
dengan stasiun televisi lokal. Secara politis, kebijakan ini dijalankan untuk
menjamin diversity of content, karena sepanjang stasiun televisi
nasional masih beroperasi di daerah, maka muatan siarannya hanya akan
didominasi oleh muatan dari ‘pusat’. Sementara di sisi lain, secara ekonomi
diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk memancing hadirnya media-media
baru di tingkat lokal. Sehingga ke depan terjadi diversity of ownership. Ini
akan berbeda dengan kondisi sekarang dimana kepemilikan media televisi
nampaknya hanya dikuasai oleh sebagian kecil pemilik modal yang berbasis di
pusat politik.
Dalam perspektif makro, penulis menggunakan
Perspektif kritis. Pertimbangannya
adalah bahwa media semestinya dilihat secara lebih holistik, karena produksi,
distribusi dan konsumsi media berada dalam sebuah lingkungan sosial, ekonomi
dan politik yang strukturnya saling mempengaruhi. Boleh jadi media kemudian
mengambil peran di dalam mendominasi isi pesan dan melegitimasi kelas dominan.
Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensinya terhadap
komodifikasi produk media. Pada aras inilah maka sesungguhnya perbincangan
mengenai ideologi, kepentingan kekuasaan mendapat tempat.
Dalam
sisi monopoli group 21, mereka mendominasi isi pesan film , penyebar kesadaran
palsu serta meng “hegemoni” wacana perfilman. Pemilik modal bisa mengambil
keuntungan atas preferensinya terhadap komodifikasi produk film.
Dalam sudut pandang Marxis, preferensi pemilik
modal memampukan lembaga media mengambil peran sebagai penyebar kesadaran palsu yang meninabobokan khalayak (reader).
Atau, media dapat digunakan untuk melancarkan hegemoni dengan menutupi atau
merepresentasikan kepentingan kelas berkuasa. Pada wilayah terakhir ini,
produksi teks hakikatnya merupakan bentuk latent dari kekuasaan yang bekerja
dalam lembaga media.
Seperti
diketahui bahwa pasca 2004 telah terjadi liberalisasi di bidang film dan
dampaknya terjadi monopoli pemilik modal besar di bidang industry film. Dalam
kacamata Marxist , kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor hanyalah
proses perebutan dominasi ekonomi antara Negara dengan klas pengusaha, artinya
liberalisasi di bidang film telah melahirkan dominasi ekonomi di kalangan kaum
borjuis, maka Negara melalui instrument undang-undang dan hukum berusaha
mematahkan dominasi ini.
Dalam
pandangan Marx, dalam masyarakat industry kapitalis akan terjadi konflik antara kelas pemilik modal yang menguasai
sumber-sumber dan alat-alat produksi (kaum kapitalis/industriawan/kaum borjuis
) dengan kaum proletar yang tidak
mempunyai sumber-sumber dan alat-alat produksi. Representasi dari kaum proletar
ini adalah buruh/kaum pekerja di sector swasta. Dimensi ketidaksetaraan kekuasaan ekonomi lah yang menjadi basis teori
konflik Marx.
Dari
ketidaksetaraan kelompok masyarakat atas kepemilikan sumber-sumber dan
alat-alat produksi ini melahirkan perebedaan “Relations of production” dan “Mode
of Production” antara kelas borjuis dengan klas proletar. Ketidak setaraan
berakar pada ketimpangan struktur ekonomi.
Bagaimana
dengan hubungan Negara dan media? . Negara menurut pandangan kaum Marxist
adalah representasi dari kaum borjuis dalam kekuasaan politik, artinya, Negara
adalah alat legitimasi dari kaum borjuasi untuk tetap menguasai kekuasaan
ekonomi melalui instrument politik. Negara menjadi alat kaum borjuis. Sedangkan
hubungan Negara dengan media bukan merupakan hubungan antara pemegang otoritas
kekuasaan dengan organisasi control, tetapi hubungan antara mode of production dan relation of production yang berbeda gaya
saja. Media juga instrument kaum
borjuasi di “pasar ide”, sedangkan
Negara instrument kaum borjuasi di “pasar
materi”. Dalam
pandangan Marxisme Klasik, media dilihat sebagai alat dari kelas yang dominan
untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya dan sebagai sarana kelas
pemilik modal berusaha melipatgandakan modalnya. Media tentu saja dalam hal ini
selalu menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa dalam masyarakat dan maka
dari itu menekan kelas-kelas tertentu. Media
(juga) sekadar menjadi alat ekonomi belaka dari kaum borjuis sebagai “pabrik
ide”. Klas yang berkuasa menguasai
bidang material sekaligus bidang ide untuk menekan masyarakat. Klas yang
berkuasa menguasai dan mengontrol material dan mental masyarakat.
Monopoli Film tertentu melahirkan hegemoni atas pesan
hiburan
Monopoli film impor yang sebagaian besar dari
AS yang dikuasai oleh Group 21, jelas akan melahirkan hegemoni wacana hiburan
dari film. apa yang dikatakan Douglass Kellner bahwa budaya media dapat menjadi
hambatan demokrasi sejauh memproduksi wacana-wacana reaksioner, mempromosikan
berbagai penggunggulan terhadap ras, jenis kelamin, usia , kelas serta berbagai
bentuk prasangka lain. Hegemoni atas penggungulan amerika sebagai masyarakat
pemenang, kuat, kaya, berteknoligi tinggi sebagaimana yang digambarkan dalam
film-film amerika, telah menciptakan wacana inferior masyarakat Indonesia
terhadap AS. Maka dari kacamata hegemoni ini Gramsci mampu menggambarkan amat
elok tentang fenomena ini.
Konsep hegemoni Gramsci berasal dari bukunya “Selection from The
Prison Notebook” (1976: 57-58 ) yang bermula dari penjelasannya tentang basis
dari supremasi kelas. Menurut Gramsci, supremasi kelas mewujudkan diri dalam
dua cara: dominasi, dan Kepemimpinan intelektual dan moral. Dominasi
ditegakkan dengan “coercion”,
sedangkan kepemimpinan intelektual dan
moral ditegakkan melalui “consensus”. Yang kedua inilah yang dimaksud HEGEMONI oleh Gramsci. Hegemoni adalah ranah cultural
atau ranah persetujuan. ranah persetujuan ini diperankan oleh apa yang disebut
gramsci sebagai masyarakat sipil yang terdiri dari sekolah, universitas, media massa, gereja dll.
Institusi-institusi ini secara signifikan memainkan peranan dalam membentuk
kesadaran massa. Sedangkan ranah ‘paksaan’ diperankan oleh masyarakat politik seperti
tentara, polisi, pengadilan , birokrasi dan pemerintah, yang biasanya kita
sebut sebagai Negara, meskipun Gramsci memandang Negara berbeda dari pemahaman
kita sehari-hari.
Dengan demikian media massa merupakan ranah
persetujuan (consensus) atau ranah cultural yang harus ditegakkan melalui kepemimpinan intelektual dan moral.
Gramsci membedakan antara kepemimpinan
intelektual Organik dan kepemimpinan intelektual tradisional.. Kepemimpinan intelektual organic adalah
intelektual yang berasal dari klas tertentu bisa jadi dari klas norjuis dan
memihak Negara, bisa juga dari klas buruh dan berpihak pada klas buruh.
Sedangkan intelektual tradisional dapat dikategorikan sebagai intelektual
otonoom dan merdeka dari kelompok social dominan dan memisahkan diri dari
tatanan borjuis.
Dalam menyoroti fenomena media sekarang ini,
saya memandang bahwa beberapa media hiburan khususnya film
masih dikuasai oleh kaum intelektual organic yang mengabdi pada kepentingan
borjuasi dan Negara. Karena dikuasai oleh kelompok Group 21. Sekilas ada kolaborasi antara Negara dengan
kelompok 21. Maka, dominasi dan hegemoni opini public diperankan oleh kaum
borjuis ini menguasai “wacana” masyarakat perfilman. Namun dengan dikeluarkan
kebijakan pengenaan pajak royalty atas film impor yang nyata-nyata dimonopoli
Group 21 seolah ingin meng “counter” adanya kolaborasi Negara dengan kelompok
borjuasi film. Kemuidian akan terjadi demokratisasi dan pemerataan ekonomi di
bidang film, dengan juga menciptakan “trickle down effect” bagi tumbuhnya
industry lokal cetak film dan industry film lokal.
2.3.
Kerangka
Pemikiran
Berdasarkan kajia pustaka di atas, peneliti menyusun
kerangka pemikiran teoritik sebagai berikut :
BAB
III
PARADIGMA
DAN METODE PENELITIAN
3.1.
Paradigma
Penelitian
Paradigma penelitian ini menggunakan paradigma kritis.
Paradigma kritis mempertautkan antara kenyataan dengan kepentingan politik dan
kekuasaan dibalik kenyataan. realitas dalam paradigm kritis dianggap sebagai
realitas “maya” yang dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, etnik
dan jender. Realitas dalam paradigm kritis dipahami sebagai realitas yang tertutupi oleh struktur (Denzin dan Lincoln, 2009: 135). Dalam
penelitian ini memperhatikan konteks
yang melatarbelakangi kebiajakan atas film impor tersebut dan dibatasi pada
konteks nilai-nilai politik dan ekonomi.
3.2.
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penafsiran teks hermeneutik
–kritis Jurgen Habermas. Dalam
hermenetika, teks adalah fenomena
komunikasi . Teks diinterperetasikan monologis, dialogis, maupun kritis, di
mana teks dipahami dari sisi obyektif, subyektif, dan konteks social politik
yang melatar belakangi atau dalam pemahaman Jurgen Habermas disebut “Lebenswelt”.
Dengan metode penelitian tersebut, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
studi dokumentasi, observasi, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion,
serta analisis konsiderans teks kebijakan film impor baik berujud UU maupun PP
3.3.
Subyek
dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian adalah individu yang mempunyai
kewenangan mengeluarkan kebijakan pengenaan pajak royalty film impor, misalnya
Dirjen Pajak, Menkominfo , Tokoh perfilman dan pihak-pihak terkait, yang sekaligus menjadi nara sumber atau key
informan. Adapun obyek penelitiannya adalah teks undang-undang dan Peraturan
Pemerintah yang menyangkut perfilman, pesan apa yang mau disampaikan dan
realitas apa dibalik pesan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku
:
Antoni, “Riuhnya Persimpangan Itu, Tiga Srangkai,
Solo, 2004
Basrowi Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif, Insan
Medika, Surabaya, 2002
Deliarnov, “Ekonomi Politik”, Erlangga , Jakarta, 2010.
Denzin, Norman K. and Lincoln, Yvonna S, Handbook
of Qualitative research, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, 2009
Didik J. Rachbini, “Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011
Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti, “Pendekatan Politik Ekonomi:
Jembatan di antara Ekonomi dan Politik”, dalam Jurnal Ilmu Politik No 8,
1991, Gramedia, Jakarta, 1991
Douglas Kellner : “Budaya Media”, Jalasutra, Jakarta, 2010
Mosco , Vincent, The Political Economy of Communication,
Sage Publication, London, 1996.
Usman Kansong, “ Ekonomi Media”, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2009.
McQuail, Denis , Mass Communication Theory, Sage
Publication, London, 2000.
Internet
:
http://www.theory org.uk/giddens2.html )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar