STRATEGI
PENGUATAN KOHESI DAN INTEGRASI SOSIAL
BERBASIS
NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL*
Oleh
: Drs. Agus Bandono M. Hum
I. PENDAHULUAN
Pembangunan
bukanlah sekedar jargon dan juga bukan sebuah tujuan tetapi sebuah proses.
Sebagai sebuah proses, pembangunan merupakan proses multi dimensi (fisik dan
non fisik) di mana output pembangunan tidak berkonotasi fisikal belaka seperti
yang dipahami oleh awam. Pembangunan tidak hanya membuat manusia hanya berusaha
‘memiliki’ (to be have), lebih dari
itu seyogyanya membuat manusia menjadi ‘to
be more’ (menjadi lebih, lebih baik, lebih berkualitas).
Berbicara
tentang kualitas manusia, maka tentu saja arah kita kepada pembangunan
kebudayaan. Pembangunan kebudayaan sebagai sebuah sistem gagasan, nilai-nilai,
norma, pola-pola perilaku maupun hasil karya manusia bersifat dinamis,
lebih-lebih kebudayaan Indonesia yang masih dalam statu nascendi (proses menjadi) maka diperlukan strategi khusus
untuk merekayasa kebudayaan. Secara dialektis, kebudayaan Nasional Indonesia
sedang dalam proses berdialog ke dalam dengan kebudayaan daerah dan berdialog
dengan arus globalisasi.
Indonesia
sebagai sebuah nasion, sebagai sebuah bangunan politik mungkin sudah dianggap
selesai. Tetapi, Indonesia sebagai sebuah bangunan sosiologis sekarang ini
justru menghadapi tantangan disintegrasi sosial maupun semangat daerah-isme
yang tinggi sebagai akibat tafsir akan makna otonomi.
Semangat
kedaerahan sebagai sebuah dinamika adalah sah-sah saja dan bukan sesuatu yang
haram. Berbagai lapisan masyarakat memproklamirkan nilai-nilai kedaerahan
sebagai sebuah ‘sense of belonging’ akan
nilai-nilai local genius dapat
diacungkan jempol, selama dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.
Akan tetapi, semangat kedaerahan yang mengarah kepada daerah-isme yang sempit
dengan menekankan segregasi tentunya akan berhadapan secara ideologis dan
sosiologis dengan simbol-simbol kenasionalan dan justru kontra produktif
sementara bengsa sedang dalam upaya mengindonesiakan nilai-nilai budaya lokal.
Dalam Kerangka dan
tataran pola pikir di atas, maka seyogyanya dalam suatu upaya untuk merekayasa
sosial dan budaya perlu didekati dengan pendekatan system dan proses dialektis
yang terus menerus. Sehingga, strategi penguatan kohesi dan integrasi sosial
yang berbasis nilai-nilai budaya local yang mendukung budaya nasional dan
integrasi nasional, tanpa harus dibenturkan satu sama lain.
II. AGENDA
MASALAH dan STRATEGI KOHESI dan INTEGRASI SOSIAL.
Masyarakat
Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk memiliki karakteristik, Pertama, adanya segmentasi ke dalam
bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda
satu sama lain. Kedua, memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
non-komplementer. Ketiga, kurang
mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai dasar. Keempat, secara relatif seringkali
mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang
lain. Kelima, secara relatif
integrasi sosial tumbuh di atas coercion dan saling ketergantungan di dalam
bidang ekonomi. Keenam, adanya
dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Menurut
Furnivall, ciri utama masyarakat majemuk adalah kehidupan masyarakat
berkelompok-kelompok berdampingan secara fisik, tetapi terpisah-pisah oleh
perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuah unit politik. Menurut
penulis, Masyarakat majemuk Indonesia terbelah secara horizontal sebagai
ascribed status ke dalam suku, ras, agama, golongan dan kedaerahan (SARA), dan
secara vertical terbelah atas perbedaan tingkat sosial ekonomi, pendidikan,
kepemilikan, elite-massa dan sebagainya. Pembelahan horizontal sesungguhnya
bersifat permanen dan laten, serta statis, manakala tidak dipicu oleh munculnya
perbedaan vertical yang tajam. Tetapi, masalah-masalah SARA ini muncul ke
permukaan dan menjadi manifest, manakala terajadi kesenjangan sosial vertical
yang tajam di antara posisi horizontal yang berbeda tadi, seperti
ketidak-adilan, ketidakmerataan dll.
Setidaknya
ada 3 sumber ketidakserasian sosial dalam masyarakat majemuk, Pertama, perebutan sumber daya,
alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi. Sumber konflik yang pertama ini yang
banyak terjadi dan biasanya dimenangkan oleh individu atau kelompok yang
memiliki kekuatan dan kemampuan yang lebih unggul baik sumber daya manusianya maupun
teknologinya. Kedua, perluasan
batas-batas kelompok sosial budaya, Konflik ini biasanya terjadi di perkotaan.
Perbedaa tradisi, bahasa, hukum dan identitas sosial dapat menyatu dalam
kepentingan politik yang dapat memicu konflik, kecemburuan dan berbagai
prasangka sosial dalam masyarakat. Ketiga,
benturan kepentingan politik, ideology, dan agama. Benturan ini biasanya
terjadi antara struktur yang sudah mapan menghadapi kebudayaan, system nilai,
ideology, agama yang berkembang. Konflik ini muncul biasanya dalam format
penguasa vs rakyat, majikan vs buruh, patron vs client. Konflik ketiga-tiganya
dapat ditemui dalam setiap masyarakat baik besar maupun kecil. Tetapi dalam
masyarakat majemuk dan heterogen, frekuensi benturannya akan lebih sering
terjadi.
Sementara
itu, pengkajian mengenai masyarakat
majemuk telah mendapat perhatian yang luas dikalangan ahli-ahli ilmu sosial
dengan hasil penelitian yang menarik seperti oleh Lewis, Edward bruner, Barth, Evers dll.
Menurut para ahli tersebut, setidaknya ada 2 konsep masyarakat untuk mengatasi
konflik pada masyarakat majemuk : Pertama, apa yang disebut “Melting Polt” (wadah pembauran) dengan
sumsi bahwa pada suatu waktu integrasi dengan sendirinya akan terjadi apabila
orang berkumul pada tempat yang berbaur, seperti di sebuah kota atau pemukiman.
Arena dianggap merupakan faktor determinasi untuk integrasi sosial. Kedua, apa yang disebut “Pluralisme Kebudayaan”, yang justru
menentang konsep wadah pembaharuan. Kaum penganut pluralisme kebudayaan
menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnis atau ras yang berbeda satu sama lain
malah harus didorong untuk mengembangkan system budaya mereka sendiri
(mengembangkan nilai-nilai local mereka sendiri) dalam kebersamaan, yang justru
akan memperkaya khasanah kebudayaan masyarakat majemuk. Untuk Indonesia,
pendekatan kedua lebih cocok diterapkan.
III. AGENDA
MASALAH dan STRATEGI PENGUATAN NILAI-NILAI LOKAL
(Membangun
Tradisi Tanpa Sikap Tradisional)
Hubungan
persoalan kebangsaan dan masalah persatuan dengan persoalan tradisi terlihat
pada 2 issue. Pertama, kesadaran-kesadaran
local-provinsial harus semakin direlativisir untuk memberi tempat kepada kesadaran
nasional. Sedangkan nasionalisme sebagai wadah besar nilai-nilai local
diposisikan sebagai cultural solidarity groups. Kedua, nilai-nilai local, kebudayaan-kebudayaan daerah yang menjadi
referensi kelompok-kelompok etnis harus diperlakukan sebagai sumber daya bagi
suatu kebudayaan persatuan yang masih harus dikembangkan, puncak-puncak
kebudayaan daerah menjadi unsur pembentuk kebudayaan nasional.
Selama
beberapa tahun belakangan sebagai akibat perhatian yang begitu besar kepada
pengembangan kebudayaan nasional, terabaikannya perhatian kepada pengembangan
kebudayaan local. Seperti misalnya, kedudukan bahasa daerah dalam system
pendidikan nasional tidak begitu jelas, kecuali hanya sebagai bahasa intim.
Penulisan sejarah nasional lebih didahulukan daripada sejarah local.
Sebaliknya, gerakan kebudayaan baru munculnya justru ditandai oleh
putusnya hubungan dengan tradisi. Seakan-akan dianggap tidak terdapat suatu
kontinum antara kebudayaan-kebudayaan tradisional dengan kebudayan baru.
Kebudayaan tradisional dipandang statis, mengutamakan sifat kolektif, anonim,
mistis dan mitologis. Sedangkan kebudayaan Modern mengandalkan tanggung jawab
perorangan, mengutamakan kepentingan diri, rasional-kritis, dan menghargai
benda-benda material. Kebudayan tradisioanal sebagai teas dan kebudayaan modern
sebagai antitesa seharusnya menghasilkan sintesa kebudayaan baru Indonesia yang
modern tetapi tanpa harus meninggalkan tradisi. Tetapi pada kenyataan justru
terjadi dialektika tanpa sintesa, menolak kebudayaan modern (Barat) tetapi juga
tidak memajukan tradisi dan nilai-nilai local. Sehingga kebudayaan Indonesia
tidak prnah mengalami evolusi apalagi revolusi, yang terjadi hanya involusi
(perubahan bentuk tanpa merubah isi).
Sudah
jelas bahwa bidang apapun yag tidak membangun tradisinya dan tidak melandasi
dirinya pada sejarah akan menderita stet
of the art dari perkembangan bidang tersebut atau gerak perkembangan
progresif sulit dilakukan karena pembaruan yang dilakukan sekarang bisa saja
merupakanpengulangan belaka dari apa yang sebelumnya pernah dilakukan.
Cukup
nyata kiranya bahwa tradisi merupakan suatu tiang topang kebudayaan yang harus
dibangun, dipertahankan dan diuji kembali. Mendasarkan aktifitas pada tradisi
dan tidak menyerah pada sikap tradisional bukanlah sikap ‘kampungan’ atau
tradisional, malahan barangkali dapat membuka cakrawala baru pada perkembangan
kebudayaan. Strategi dan langkah yang harus ditempuh adalah pertama
identifikasi, diseminasi, sosialisasi, internalisasi dan institusionalisasi
nilai-nilai local yang masih dapat dipertahankan dan mampu menopang kehidupan
modern dan nilai-nilai tersebut mampu menjadi bagian dari conscience collective dan perekat solidaritas dan integrasi sosial.
The Benefits of Using a sunscreen with zinc oxide and titanium dioxide
BalasHapusUse sunscreen with zinc oxide and revlon hair dryer brush titanium titanium dioxide to improve skin babylisspro nano titanium hair dryer penetration. titanium white wheels It is important to follow all precautions as you titanium money clip can get titanium earrings sensitive ears
read review wholesale sex toys,wholesale sex dolls,realistic sex dolls,love dolls,realistic dildo,japanese sex dolls,sex dolls,dildo,male masturbator their website
BalasHapus