Kategori

Senin, 20 April 2015

STRATEGI PENGUATAN KOHESI DAN INTEGRASI SOSIAL BERBASIS NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL

STRATEGI PENGUATAN KOHESI DAN INTEGRASI SOSIAL
BERBASIS NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL*
Oleh : Drs. Agus Bandono M. Hum

I.    PENDAHULUAN

                 Pembangunan bukanlah sekedar jargon dan juga bukan sebuah tujuan tetapi sebuah proses. Sebagai sebuah proses, pembangunan merupakan proses multi dimensi (fisik dan non fisik) di mana output pembangunan tidak berkonotasi fisikal belaka seperti yang dipahami oleh awam. Pembangunan tidak hanya membuat manusia hanya berusaha ‘memiliki’ (to be have), lebih dari itu seyogyanya membuat manusia menjadi ‘to be more’ (menjadi lebih, lebih baik, lebih berkualitas).

                 Berbicara tentang kualitas manusia, maka tentu saja arah kita kepada pembangunan kebudayaan. Pembangunan kebudayaan sebagai sebuah sistem gagasan, nilai-nilai, norma, pola-pola perilaku maupun hasil karya manusia bersifat dinamis, lebih-lebih kebudayaan Indonesia yang masih dalam statu nascendi (proses menjadi) maka diperlukan strategi khusus untuk merekayasa kebudayaan. Secara dialektis, kebudayaan Nasional Indonesia sedang dalam proses berdialog ke dalam dengan kebudayaan daerah dan berdialog dengan arus globalisasi.

                 Indonesia sebagai sebuah nasion, sebagai sebuah bangunan politik mungkin sudah dianggap selesai. Tetapi, Indonesia sebagai sebuah bangunan sosiologis sekarang ini justru menghadapi tantangan disintegrasi sosial maupun semangat daerah-isme yang tinggi sebagai akibat tafsir akan makna otonomi.

                 Semangat kedaerahan sebagai sebuah dinamika adalah sah-sah saja dan bukan sesuatu yang haram. Berbagai lapisan masyarakat memproklamirkan nilai-nilai kedaerahan sebagai sebuah ‘sense of belonging’ akan nilai-nilai local genius dapat diacungkan jempol, selama dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, semangat kedaerahan yang mengarah kepada daerah-isme yang sempit dengan menekankan segregasi tentunya akan berhadapan secara ideologis dan sosiologis dengan simbol-simbol kenasionalan dan justru kontra produktif sementara bengsa sedang dalam upaya mengindonesiakan nilai-nilai budaya lokal.

     Dalam Kerangka dan tataran pola pikir di atas, maka seyogyanya dalam suatu upaya untuk merekayasa sosial dan budaya perlu didekati dengan pendekatan system dan proses dialektis yang terus menerus. Sehingga, strategi penguatan kohesi dan integrasi sosial yang berbasis nilai-nilai budaya local yang mendukung budaya nasional dan integrasi nasional, tanpa harus dibenturkan satu sama lain.



II.   AGENDA MASALAH dan STRATEGI KOHESI dan INTEGRASI SOSIAL.

    Masyarakat Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk memiliki karakteristik, Pertama, adanya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Kedua, memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer. Ketiga, kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai dasar. Keempat, secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Kelima, secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas coercion dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi. Keenam, adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Menurut Furnivall, ciri utama masyarakat majemuk adalah kehidupan masyarakat berkelompok-kelompok berdampingan secara fisik, tetapi terpisah-pisah oleh perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuah unit politik. Menurut penulis, Masyarakat majemuk Indonesia terbelah secara horizontal sebagai ascribed status ke dalam suku, ras, agama, golongan dan kedaerahan (SARA), dan secara vertical terbelah atas perbedaan tingkat sosial ekonomi, pendidikan, kepemilikan, elite-massa dan sebagainya. Pembelahan horizontal sesungguhnya bersifat permanen dan laten, serta statis, manakala tidak dipicu oleh munculnya perbedaan vertical yang tajam. Tetapi, masalah-masalah SARA ini muncul ke permukaan dan menjadi manifest, manakala terajadi kesenjangan sosial vertical yang tajam di antara posisi horizontal yang berbeda tadi, seperti ketidak-adilan, ketidakmerataan dll.

        Setidaknya ada 3 sumber ketidakserasian sosial dalam masyarakat majemuk, Pertama, perebutan sumber daya, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi. Sumber konflik yang pertama ini yang banyak terjadi dan biasanya dimenangkan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang lebih unggul baik sumber daya manusianya maupun teknologinya. Kedua, perluasan batas-batas kelompok sosial budaya, Konflik ini biasanya terjadi di perkotaan. Perbedaa tradisi, bahasa, hukum dan identitas sosial dapat menyatu dalam kepentingan politik yang dapat memicu konflik, kecemburuan dan berbagai prasangka sosial dalam masyarakat. Ketiga, benturan kepentingan politik, ideology, dan agama. Benturan ini biasanya terjadi antara struktur yang sudah mapan menghadapi kebudayaan, system nilai, ideology, agama yang berkembang. Konflik ini muncul biasanya dalam format penguasa vs rakyat, majikan vs buruh, patron vs client. Konflik ketiga-tiganya dapat ditemui dalam setiap masyarakat baik besar maupun kecil. Tetapi dalam masyarakat majemuk dan heterogen, frekuensi benturannya akan lebih sering terjadi.

          Sementara itu,  pengkajian mengenai masyarakat majemuk telah mendapat perhatian yang luas dikalangan ahli-ahli ilmu sosial dengan hasil penelitian yang menarik seperti oleh  Lewis, Edward bruner, Barth, Evers dll. Menurut para ahli tersebut, setidaknya ada 2 konsep masyarakat untuk mengatasi konflik pada masyarakat majemuk :  Pertama, apa yang disebut “Melting Polt” (wadah pembauran) dengan sumsi bahwa pada suatu waktu integrasi dengan sendirinya akan terjadi apabila orang berkumul pada tempat yang berbaur, seperti di sebuah kota atau pemukiman. Arena dianggap merupakan faktor determinasi untuk integrasi sosial. Kedua, apa yang disebut “Pluralisme Kebudayaan”, yang justru menentang konsep wadah pembaharuan. Kaum penganut pluralisme kebudayaan menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnis atau ras yang berbeda satu sama lain malah harus didorong untuk mengembangkan system budaya mereka sendiri (mengembangkan nilai-nilai local mereka sendiri) dalam kebersamaan, yang justru akan memperkaya khasanah kebudayaan masyarakat majemuk. Untuk Indonesia, pendekatan kedua lebih cocok diterapkan.


III.   AGENDA MASALAH dan STRATEGI PENGUATAN NILAI-NILAI LOKAL
(Membangun Tradisi Tanpa Sikap Tradisional)

         Hubungan persoalan kebangsaan dan masalah persatuan dengan persoalan tradisi terlihat pada 2 issue. Pertama, kesadaran-kesadaran local-provinsial harus semakin direlativisir untuk memberi tempat kepada kesadaran nasional. Sedangkan nasionalisme sebagai wadah besar nilai-nilai local diposisikan sebagai cultural solidarity groups. Kedua, nilai-nilai local, kebudayaan-kebudayaan daerah yang menjadi referensi kelompok-kelompok etnis harus diperlakukan sebagai sumber daya bagi suatu kebudayaan persatuan yang masih harus dikembangkan, puncak-puncak kebudayaan daerah menjadi unsur pembentuk kebudayaan nasional.

       Selama beberapa tahun belakangan sebagai akibat perhatian yang begitu besar kepada pengembangan kebudayaan nasional, terabaikannya perhatian kepada pengembangan kebudayaan local. Seperti misalnya, kedudukan bahasa daerah dalam system pendidikan nasional tidak begitu jelas, kecuali hanya sebagai bahasa intim. Penulisan sejarah nasional lebih didahulukan daripada sejarah local.
Sebaliknya, gerakan kebudayaan baru munculnya justru ditandai oleh putusnya hubungan dengan tradisi. Seakan-akan dianggap tidak terdapat suatu kontinum antara kebudayaan-kebudayaan tradisional dengan kebudayan baru. Kebudayaan tradisional dipandang statis, mengutamakan sifat kolektif, anonim, mistis dan mitologis. Sedangkan kebudayaan Modern mengandalkan tanggung jawab perorangan, mengutamakan kepentingan diri, rasional-kritis, dan menghargai benda-benda material. Kebudayan tradisioanal sebagai teas dan kebudayaan modern sebagai antitesa seharusnya menghasilkan sintesa kebudayaan baru Indonesia yang modern tetapi tanpa harus meninggalkan tradisi. Tetapi pada kenyataan justru terjadi dialektika tanpa sintesa, menolak kebudayaan modern (Barat) tetapi juga tidak memajukan tradisi dan nilai-nilai local. Sehingga kebudayaan Indonesia tidak prnah mengalami evolusi apalagi revolusi, yang terjadi hanya involusi (perubahan bentuk tanpa merubah isi).

        Sudah jelas bahwa bidang apapun yag tidak membangun tradisinya dan tidak melandasi dirinya pada sejarah akan menderita stet of the art dari perkembangan bidang tersebut atau gerak perkembangan progresif sulit dilakukan karena pembaruan yang dilakukan sekarang bisa saja merupakanpengulangan belaka dari apa yang sebelumnya pernah dilakukan.

         Cukup nyata kiranya bahwa tradisi merupakan suatu tiang topang kebudayaan yang harus dibangun, dipertahankan dan diuji kembali. Mendasarkan aktifitas pada tradisi dan tidak menyerah pada sikap tradisional bukanlah sikap ‘kampungan’ atau tradisional, malahan barangkali dapat membuka cakrawala baru pada perkembangan kebudayaan. Strategi dan langkah yang harus ditempuh adalah pertama identifikasi, diseminasi, sosialisasi, internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai local yang masih dapat dipertahankan dan mampu menopang kehidupan modern dan nilai-nilai tersebut mampu menjadi bagian dari conscience collective dan perekat solidaritas dan integrasi sosial.


















2 komentar: