Kategori

Kamis, 22 Mei 2014

Paradigma - Paradigma Ilmu Sosial



I.          PENDAHULUAN
            Istilah ‘paradigma” untuk pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam buku “The Structure of Scientific Revolution” yang terbit tahun 1970. Menurut Kuhn, pada intinya, paradigma merupakan kerangka pikiran yang isinya adalah asumsi-asumsi tentang “the Nature of Think”, tentang dunia obyek bahasan disiplin ilmu pengetahuan, yang biasanya terdiri dari “values & beliefs” yang dijunjung tinggi dalam disiplin itu. Asumsi-asumsi itu meliputi asumsi tentang “the Nature of Human Being”. Paradigma pada hakekatnya adalah “As Belief and Values Held by Certain Scientific Community Members”[1].
            Pada tahun 1980, setelah terbit buku karangan George Ritzer dengan judul “Sociology: A Multuple Paradigm Scientice”, istilah paradigma menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat akademis di Eropa. Istilah paradigma kemudian amat populer dikalangan akademisi di Indonesia pada tahun 1990-an setelah buku Ritzer tersebut diterjemahkan oleh Alimandan dengan judul “Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda”. Dalam buku Ritzer terjemahan Alimandan, paradigma menurut Kuhn adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan :
  1. Apa yang harus dipelajari disiplin itu;
  2. Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab;
  3. Bagaimana seharusnya menjawab;
  4. Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam rangka menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan tersebut.[2]
            Paradigma merupakan konsensus yang terluas yang terdapat dalam suatu cabang ilmu pengetahuan yang membedakan antara komunitas ilmuwan yang satu dengan yang lainnya. Paradigma adalah sebagai keseluruhan susunan kepercayaan nilai-nilai serta teknik-teknik yang sama-sama dipakai oleh anggota komunitas ilmuwan tertentu. Paradigma menggolongkan-golongkan, mendefinisikan dan menghubungkan antara eksemplar, teori-teori, metode-metode serta instrumen-instrumen yang terdapat di dalamnya.[3]
            Perkembangan paradigma diawali dengan normal science -- Anomali Krisis -- Revolusi -- Paradigma Baru.
            Dengan menelusuri pengertian paradigma tersebut, maka didapat gambaran bahwa di kalangan komunitas ilmuwan terjadi “group-group” atas paradigma yang dianut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan yang kita pelajari hanya sebatas “kebenaran paradigmatis”. Konsekuensinya, ilmu-ilmu sosial bukan sebuah kelompok homogen (mono/tunggal). Oleh karena itu hendaknya, para ilmuwan mengetahui berbagai paradigma dari ilmu yang ditekuninya dan dengan keyakinan tertentu mampu mengambil sikap tegas menganut satu paradigma tertentu dalam menekuni IP yang ditekuninya, sehingga secara konsisten mampu menggunakan teori dan metode tertentu. Karena memang amat sulit untuk memahami dan menjadi pakar dari keseluruhan paradigma tadi. Syukur-syukur mampu “naik ke atas” menekuni perspektif filosofisnya. Karena menurut saya, pengetahuan tentang paradigma belumlah “mumpuni” bagi seorang ilmuwan sejati.
            Di lapangan Sosiologi dikenal beberapa paradigma, diantaranya Paradigma Fakta Sosial (Durkheimian), Paradigma Perilaku Sosial (Skinnerian), Paradigma Definisi Sosial (Weberian), dan Paradigma Marxian. Sedangkan di lapangan Administrasi Negara dikenal Paradigma I (dikotomi Politik Administrasi 1900-1926), Paradigma II (Prinsip-prinsip Administrasi 1927-1937). Paradigma III (Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik 1950-1970), dan Paradigma IV (Administrasi sebagai Ilmu Administrasi 1956-1970).[4]
            Seperti apa yang telah saya kemukakan di atas, di samping memahami paradigma kita perlu menelusuri (napak tilas) ke akarnya, yaitu perspektif Filosofis. Sebuah gejala yang tidak aneh, kalangan ilmuwan malas mempelajari Filsafat, karena filsafat dianggap mengawang-awang, terlalu abstrak dan berat, serta kurang praktis. Menurut Ted Benton, di satu sisi filsafat dianggap sebagai pihak “under labourer” (kurang giat), parasitic terhadap ilmu, sebaliknya justru filsafat itu bekerjanya sangat banyak adan sangat fundamental, sehingga filsafat merupakan “master science”, apa yang sudah diselesaikan filsafat dijadikan landasan untuk bekerja oleh IP.[5]

II.        PERSPEKTIF ILMU-ILMU SOSIAL
            Pada perspektif Filosofis Ilmu Sosial di dunia yang kita pelajari ini terdiri dari 3 perspektif yakni : Positivism Perspective (Durkheim), Conventionalism Perspective (Weber), and Realism Perspective (Karl Marx)[6]. Perbedaan dari 3 perspektif tersebut terletak pada jawaban yang diberikan masing-masing perspektif terhadap 3 pertanyaan dasar : pertanyaan ontologis, pertanyaan epistemologis, pertanyaan metodologis. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

PERSPEKTIF ILMU-ILMU SOSIAL
No
The Three School 
Three Basic Question
Positivism
Conventionalism
Realism
1.
Ontological question : What kinds of think do teally exist?
Yang eksis hanyalah yang bisa ditangkap oleh indera dalam pengalaman aktual keseharian (sensory experience).
Convention (kesepakatan), inter-subyektifitas, struktur idea
Setuju dengan pendapat kaum positivism, tetapi realistas harus dibedakan antara sensory experience dan struktur mekanisme
2.
Epistemological question : Who is the knower?
Everyone, asal panca indera normal, populis
Para akademisi, para ahli, elitis
Everyone and expert
3.
Methodological question : How do the way to object?
Observation, interview, document study, kuantitatif
Participant observer, in-depth interview, kualitatif, inter-pretatif
Observation, interview, document study, models and analogy

            Dari Tabel di atas, kita bisa mengerti ciri khas metodologis masing-masing perspektif. Apa yang dipelajari kebanyakan ilmuwan di AS dan Inggris sekarang ini adalah perspektif positivism, sedang di Eropa cenderung Conventionalism dan Realism. Baik positivism dan realism sesungguhnya berakar pada Materialisme. Oleh karena itu, sesungguhnya ilmu-ilmu sosial berada diantara 2 ujung ekstrim : Idelaism dan Materialism.
            Tujuan IP materialism menemukan struktur dan mekanisme, sedangkan tujuan IP Idealisme menemukan hal-hal yang tidak kasat panca indera. Apa yang ditemukan oleh kaum Conventionalism hanyalah kesepakatan-kesepakatan (intersubyektif), idiografis, kebenaran ilmu tidak universal, dan tidak memisahkan secara tegas antara subyek-obyek, serta tidak menganut bahwa fenomena sosial segalanya kausalitas.

III.       TEORI IP
            Dari berbagai perspektif filosofis Ilmu Sosial di atas, lahirlah apa yang dinamakan Teori Ilmu Pengetahuan (aliran Filsafat Ilmu Pengetahuan). Teori Ilmu Pengetahuan menggambarkan dan menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai gejala tersendiri.
            Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal Teori Ilmu Pengetahuan Analitis yang terdiri dari Positivisme Logis, Rasionalisme Kritis, Empirisme Analitis, dan Teori Ilmu Pengetahuan non-Analitis yang terdiri dari Hermenetika dan Konstruktivisme Kritis.

A.        Teori Ilmu Pengetahuan Analitis
            Positivisme Logis lahir pada abad 19-20 yang dipelopori oleh Der Weiner Kreis (kelompok Wina) diantaranya Shlick, Carnap, yang akarnya dari Positivisme August Comte. Baik Positivisme Logis maupun Empirisme Rasionalisme Kritis diantaranya dipelopori oleh Karl Popper, Einstein Adler dan Freud, dimana dasar pengembangan IP adalah melalui deduksi dan falsifikasi.
            Bentuk formal aliran FIP Positivisme/Empirisme dan Rasionalisme Kritis dapat digambarkan sebagai berikut :

B.        Teori IP Non-Analitis
            IPS Hermeunetika yang dipelopori Dilthey (1833-1911) mendasarkan pengembangan pengetahuan melalui interpretasi Verstehen : yaitu cara pengembangan pengetahuan yang memanfaatkan kemampuan manusia menempatkan diri melalui pikiran dalam situasi dan kondisi orang lain dengan tujuan memahami pikiran, pandangan, perasaan, cita-cita, dorongan dan kemampuan. IP Hermeunetis memberikan “pemahaman” yang bersifat komprehensif dan mendalam (in depth) tentang gejala-gejala yang merupakan “obyek studi” khas darinya.
            Sedangkan konstruktivisme kritis mendasarkan pengembangan pengetahuan melalui konstruksi dalam pikiran, apa yang dinamakan teori (deduksi) dan empiris (induksi) hanya terdapat dalam suatu menyatakan yang hanya dapat dikonstruksi. Melalui interpretasi kritis (interpretasi yang tidak dapat ditunjukkan kesalahannya) diterima sebagai pengetahuan ilmiah. Bentuk Formal Pengembangan IPS Konstruktivisme Kritis.
              Kembali pada wacana perspektif Filosofis fi atas, berbeda dengan kaum idealism atau conventionalism, bagi kaum positivism IP adalah Universal, harus observable, repeatable (kausalitas), measurable (skala ordinal, nominal, rasio, interval), testable (harus dapat diuji secara statistik) dan predictable (harus mampu meramalkan masa depan). Metode yang digunakan oleh kaum positivism biasanya eksplanatif. Conventionalism melahirkan ilmu-ilmu Sosial Hermeneutis (sejarah, filsafat arkeologi, antropologi kebudayaan, komunikasi, bahasa, dll), sedangkan posistivism melahirkan ilmu-ilmu sosial yang empiris analitis, dan Realism melahirkan ilmu-ilmu sosial kritis (ekonomi, sosiologi, politik).

IV.       ILMU SEBAGAI PRODUK & PROSES

            Ilmu itu suatu produk dan proses. Produk ilmu adalah teori, sedangkan sebagai proses, ilmu mempunyai pola proses yang relatif baku, yaitu apa yang disebut Siklus Empiris.

Piramida Produk IP :

Persepsi     :  bahasa sehari-hari
Observasi   :  bahasa ilmiah
Hipotesa    :  hubungan 2 variable kausal
Hukum      :  seperangkat teori-teori (yang lalu) yang mendukung

Ilmu Sebagai Proses :


            Sehubungan dengan konstalasi Ilmu Sosial sekarang, Habermas sebagai salah satu Tokoh Teori Kritis membagi ilmu-ilmu sosial sebagai berikut :


Klasifikasi Ilmu Sosial Menurut Jurgen Habermas[1]
Praktek/
Praksis
Interes
Sifat
Ilmu
Jenis
Ilmu
Pengeta-
Huan yg
dihasilkan
Akses kpd
Realitas
Tujuan
Kerja
Teknis
Empiris
Analitis
I.S. Empiris
Informasi
Observasi
Penguasaan teknis
Komunikasi
Praktis
Historis
Hermeneutis
Humaniora
Interpretasi
Pengem-bangan arti via bahasa
Pengemba-ngan inter-subyektifitas
Kekuasaan
Emansi-patoris
Sosial-kritis
Ekonomi
Sosiologi
Politik
Analisa
Self-reflection
Pembebasan kesadaran reflektif



[1] Diambil dari artikel Ignas Kleden “Teori Ilmu Sosial Sebagai Variabel Sosial” dalam Prisma No. 6 Juni 1983.

            Demikian uraian ringkas yang berkenaan dengan perspektif dan paradigma ilmu-ilmu sosial. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi rekan-rekan yang mendalami filsafat ilmu pengetahuan dan metode ilmu pengetahuan.

DAFTAR  PUSTAKA
Bandono, Agus, Diktat Kuliah “Pengantar Filsafat Ilmu”, tidak diterbitkan, 2000.
Benton, Ted, “Philosophical Foundations of the Three Sociologis”. Routledge & Keagan Paul, London, 1977.
Keat, Russell & John Urry, “Social Theory as Science”, Routledge & Keagan Paul, London, 1982.
Kleden, Ignas. “Teori Sosial sebagai Variabel Sosial”, dalam Prisma No. 6 Juni 1983, Jakarta, 1983.
Kuhn, Thomas S., “Structure of Scientific Revolutions”, University of Chicago, USA, 1970.
Toha, Miftah, “Dimensi-dimensi Prima Administrasi Negara”, Rajawali Press, Jakarta 1990.
Wuissman, “Penelitian Ilmu-ilmu Sosial”,  Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta 1996.


[1] Didasarkan atas inti sari buku Thomas S. Kuhn, “The Structure of Scientific Revolution” hal. 1-20.
[2] Alimandan (penterjemah) “Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda”, karangan G. Ritzer.
[3] Ibid hal. 151
[4] Miftah Toha “Dimensi-dimensi Prima Administrasi Negara”, hal. 23-36.
[5] Ted Benton, “Philosophical Foundations of the Three Sociologies” R&KP, New York, 1977.
[6] Russell Kitt and John Urry, “Social Theory as Science”, R&KP, New York, 1975.
[7] Diambil dari artikel Ignas Kleden “Teori Ilmu Sosial Sebagai Variabel Sosial” dalam Prisma No. 6 Juni 1983.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar