Istilah ‘paradigma”
untuk pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam buku “The Structure of
Scientific Revolution” yang terbit tahun 1970. Menurut Kuhn, pada intinya,
paradigma merupakan kerangka pikiran yang isinya adalah asumsi-asumsi tentang
“the Nature of Think”, tentang dunia obyek bahasan disiplin ilmu pengetahuan,
yang biasanya terdiri dari “values & beliefs” yang dijunjung tinggi dalam
disiplin itu. Asumsi-asumsi itu meliputi asumsi tentang “the Nature of Human
Being”. Paradigma pada hakekatnya adalah “As Belief and Values Held by Certain
Scientific Community Members”[1].
Pada tahun 1980,
setelah terbit buku karangan George Ritzer dengan judul “Sociology: A Multuple Paradigm Scientice”, istilah
paradigma menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat akademis di Eropa. Istilah
paradigma kemudian amat populer dikalangan akademisi di Indonesia pada
tahun 1990-an setelah buku Ritzer tersebut diterjemahkan oleh Alimandan dengan
judul “Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda”. Dalam buku Ritzer terjemahan Alimandan, paradigma
menurut Kuhn adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu
pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan :
- Apa yang harus dipelajari disiplin itu;
- Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab;
- Bagaimana seharusnya menjawab;
- Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam rangka menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan tersebut.[2]
Paradigma merupakan
konsensus yang terluas yang terdapat dalam suatu cabang ilmu pengetahuan yang
membedakan antara komunitas ilmuwan yang satu dengan yang lainnya. Paradigma
adalah sebagai keseluruhan susunan kepercayaan nilai-nilai serta teknik-teknik
yang sama-sama dipakai oleh anggota komunitas ilmuwan tertentu. Paradigma
menggolongkan-golongkan, mendefinisikan dan menghubungkan antara eksemplar,
teori-teori, metode-metode serta instrumen-instrumen yang terdapat di dalamnya.[3]
Perkembangan
paradigma diawali dengan normal science -- Anomali Krisis --
Revolusi -- Paradigma Baru.
Dengan menelusuri
pengertian paradigma tersebut, maka didapat gambaran bahwa di kalangan
komunitas ilmuwan terjadi “group-group” atas paradigma yang dianut. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan yang kita pelajari hanya
sebatas “kebenaran paradigmatis”. Konsekuensinya, ilmu-ilmu sosial bukan sebuah
kelompok homogen (mono/tunggal). Oleh karena itu hendaknya, para ilmuwan mengetahui
berbagai paradigma dari ilmu yang ditekuninya dan dengan keyakinan tertentu
mampu mengambil sikap tegas menganut satu paradigma tertentu dalam menekuni IP
yang ditekuninya, sehingga secara konsisten mampu menggunakan teori dan metode
tertentu. Karena memang amat sulit untuk memahami dan menjadi pakar dari
keseluruhan paradigma tadi. Syukur-syukur mampu “naik ke atas” menekuni
perspektif filosofisnya. Karena menurut saya, pengetahuan tentang paradigma
belumlah “mumpuni” bagi seorang ilmuwan sejati.
Seperti apa yang
telah saya kemukakan di atas, di samping memahami paradigma kita perlu
menelusuri (napak tilas) ke akarnya, yaitu perspektif Filosofis. Sebuah gejala
yang tidak aneh, kalangan ilmuwan malas mempelajari Filsafat, karena filsafat
dianggap mengawang-awang, terlalu abstrak dan berat, serta kurang praktis.
Menurut Ted Benton, di satu sisi filsafat dianggap sebagai pihak “under
labourer” (kurang giat), parasitic terhadap ilmu, sebaliknya justru filsafat
itu bekerjanya sangat banyak adan sangat fundamental, sehingga filsafat
merupakan “master science”, apa yang sudah diselesaikan filsafat dijadikan
landasan untuk bekerja oleh IP.[5]
II. PERSPEKTIF ILMU-ILMU SOSIAL
Pada perspektif
Filosofis Ilmu Sosial di dunia yang kita pelajari ini terdiri dari 3 perspektif
yakni : Positivism Perspective (Durkheim), Conventionalism Perspective (Weber),
and Realism Perspective (Karl Marx)[6].
Perbedaan dari 3 perspektif tersebut terletak pada jawaban yang diberikan
masing-masing perspektif terhadap 3 pertanyaan dasar : pertanyaan ontologis,
pertanyaan epistemologis, pertanyaan metodologis. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
PERSPEKTIF ILMU-ILMU
SOSIAL
No
|
The
Three School
Three
Basic Question
|
Positivism
|
Conventionalism
|
Realism
|
1.
|
Ontological
question : What kinds of think do teally exist?
|
Yang
eksis hanyalah yang bisa ditangkap oleh indera dalam pengalaman aktual
keseharian (sensory experience).
|
Convention
(kesepakatan), inter-subyektifitas, struktur idea
|
Setuju
dengan pendapat kaum positivism, tetapi realistas harus dibedakan antara
sensory experience dan struktur mekanisme
|
2.
|
Epistemological
question : Who is the knower?
|
Everyone,
asal panca indera normal, populis
|
Para
akademisi, para ahli, elitis
|
Everyone
and expert
|
3.
|
Methodological
question : How do the way to object?
|
Observation,
interview, document study, kuantitatif
|
Participant
observer, in-depth interview, kualitatif, inter-pretatif
|
Observation,
interview, document study, models and analogy
|
Dari Tabel di atas,
kita bisa mengerti ciri khas metodologis masing-masing perspektif. Apa yang
dipelajari kebanyakan ilmuwan di AS dan Inggris sekarang ini adalah perspektif
positivism, sedang di Eropa cenderung Conventionalism dan Realism. Baik
positivism dan realism sesungguhnya berakar pada Materialisme. Oleh karena itu,
sesungguhnya ilmu-ilmu sosial berada diantara 2 ujung ekstrim : Idelaism dan
Materialism.
Tujuan IP
materialism menemukan struktur dan mekanisme, sedangkan tujuan IP Idealisme
menemukan hal-hal yang tidak kasat panca indera. Apa yang ditemukan oleh kaum
Conventionalism hanyalah kesepakatan-kesepakatan (intersubyektif), idiografis,
kebenaran ilmu tidak universal, dan tidak memisahkan secara tegas antara
subyek-obyek, serta tidak menganut bahwa fenomena sosial segalanya kausalitas.
III. TEORI IP
Dari berbagai perspektif
filosofis Ilmu Sosial di atas, lahirlah apa yang dinamakan Teori Ilmu
Pengetahuan (aliran Filsafat Ilmu Pengetahuan). Teori Ilmu Pengetahuan
menggambarkan dan menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai gejala
tersendiri.
Dalam ilmu-ilmu
sosial dikenal Teori Ilmu Pengetahuan
Analitis yang terdiri dari Positivisme
Logis, Rasionalisme Kritis, Empirisme Analitis, dan Teori Ilmu Pengetahuan non-Analitis yang terdiri dari Hermenetika dan Konstruktivisme Kritis.
A. Teori Ilmu
Pengetahuan Analitis
Positivisme Logis
lahir pada abad 19-20 yang dipelopori oleh Der
Weiner Kreis (kelompok Wina) diantaranya Shlick, Carnap, yang akarnya dari
Positivisme August Comte. Baik Positivisme Logis maupun Empirisme Rasionalisme
Kritis diantaranya dipelopori oleh Karl Popper, Einstein Adler dan Freud,
dimana dasar pengembangan IP adalah melalui deduksi dan falsifikasi.
Bentuk formal
aliran FIP Positivisme/Empirisme dan Rasionalisme Kritis dapat digambarkan
sebagai berikut :
B. Teori IP Non-Analitis
IPS Hermeunetika
yang dipelopori Dilthey (1833-1911) mendasarkan pengembangan pengetahuan
melalui interpretasi Verstehen :
yaitu cara pengembangan pengetahuan yang memanfaatkan kemampuan manusia
menempatkan diri melalui pikiran dalam situasi dan kondisi orang lain dengan
tujuan memahami pikiran, pandangan, perasaan, cita-cita, dorongan dan
kemampuan. IP Hermeunetis memberikan “pemahaman” yang bersifat komprehensif dan
mendalam (in depth) tentang gejala-gejala yang merupakan “obyek studi” khas
darinya.
Sedangkan
konstruktivisme kritis mendasarkan pengembangan pengetahuan melalui konstruksi
dalam pikiran, apa yang dinamakan teori (deduksi) dan empiris (induksi) hanya
terdapat dalam suatu menyatakan yang hanya dapat dikonstruksi. Melalui
interpretasi kritis (interpretasi yang tidak dapat ditunjukkan kesalahannya)
diterima sebagai pengetahuan ilmiah. Bentuk Formal Pengembangan IPS
Konstruktivisme Kritis.
Kembali pada wacana
perspektif Filosofis fi atas, berbeda dengan kaum idealism atau
conventionalism, bagi kaum positivism IP adalah Universal, harus observable,
repeatable (kausalitas), measurable (skala ordinal, nominal, rasio, interval),
testable (harus dapat diuji secara statistik) dan predictable (harus mampu
meramalkan masa depan). Metode yang digunakan oleh kaum positivism biasanya
eksplanatif. Conventionalism melahirkan ilmu-ilmu Sosial Hermeneutis (sejarah,
filsafat arkeologi, antropologi kebudayaan, komunikasi, bahasa, dll), sedangkan
posistivism melahirkan ilmu-ilmu sosial yang empiris analitis, dan Realism
melahirkan ilmu-ilmu sosial kritis (ekonomi, sosiologi, politik).
IV. ILMU SEBAGAI PRODUK & PROSES
Ilmu itu suatu
produk dan proses. Produk ilmu adalah teori, sedangkan sebagai proses, ilmu
mempunyai pola proses yang relatif baku,
yaitu apa yang disebut Siklus Empiris.
Piramida Produk IP :
Persepsi : bahasa sehari-hari
Observasi : bahasa ilmiah
Hipotesa : hubungan 2 variable kausal
Hukum : seperangkat teori-teori (yang lalu) yang
mendukung
Ilmu Sebagai Proses :
Sehubungan dengan
konstalasi Ilmu Sosial sekarang, Habermas sebagai salah satu Tokoh Teori Kritis
membagi ilmu-ilmu sosial sebagai berikut :
Klasifikasi Ilmu Sosial Menurut Jurgen Habermas[1]
Praktek/
Praksis
|
Interes
|
Sifat
Ilmu
|
Jenis
Ilmu
|
Pengeta-
Huan yg
dihasilkan
|
Akses kpd
Realitas
|
Tujuan
|
Kerja
|
Teknis
|
Empiris
Analitis
|
I.S. Empiris
|
Informasi
|
Observasi
|
Penguasaan teknis
|
Komunikasi
|
Praktis
|
Historis
Hermeneutis
|
Humaniora
|
Interpretasi
|
Pengem-bangan
arti via bahasa
|
Pengemba-ngan
inter-subyektifitas
|
Kekuasaan
|
Emansi-patoris
|
Sosial-kritis
|
Ekonomi
Sosiologi
Politik
|
Analisa
|
Self-reflection
|
Pembebasan kesadaran reflektif
|
[1] Diambil dari artikel Ignas Kleden “Teori Ilmu Sosial Sebagai Variabel Sosial” dalam Prisma No. 6 Juni
1983.
Demikian uraian
ringkas yang berkenaan dengan perspektif dan paradigma ilmu-ilmu sosial.
Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi rekan-rekan yang mendalami filsafat ilmu
pengetahuan dan metode ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Bandono, Agus, Diktat Kuliah “Pengantar
Filsafat Ilmu”, tidak diterbitkan, 2000.
Benton, Ted, “Philosophical Foundations of the Three Sociologis”. Routledge
& Keagan Paul, London,
1977.
Keat, Russell & John Urry, “Social Theory as Science”, Routledge
& Keagan Paul, London,
1982.
Kleden, Ignas. “Teori Sosial sebagai Variabel Sosial”, dalam Prisma No. 6 Juni
1983, Jakarta,
1983.
Kuhn, Thomas S., “Structure of Scientific Revolutions”,
University of Chicago,
USA,
1970.
Toha, Miftah, “Dimensi-dimensi Prima Administrasi Negara”, Rajawali Press,
Jakarta 1990.
Wuissman, “Penelitian Ilmu-ilmu Sosial”, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta 1996.
[1] Didasarkan atas inti sari buku Thomas S. Kuhn, “The Structure of Scientific Revolution” hal. 1-20.
[2] Alimandan (penterjemah) “Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda”, karangan G. Ritzer.
[3] Ibid hal. 151
[4] Miftah Toha “Dimensi-dimensi Prima Administrasi Negara”, hal.
23-36.
[5] Ted Benton, “Philosophical Foundations of the Three Sociologies”
R&KP, New York,
1977.
[6] Russell Kitt and John Urry, “Social Theory as Science”, R&KP, New York, 1975.
[7] Diambil dari artikel Ignas Kleden “Teori Ilmu Sosial Sebagai Variabel Sosial” dalam Prisma No. 6 Juni
1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar