Kategori

Rabu, 21 Mei 2014

PEMILU DAN DISKURSUS DEMOKRASI


Pemilu
 

Pemilu baik pemilu legislatif, presiden ataupun pilkada (pemilihan kepala daerah) sering disebut sebagai “pesta demokrasi”, karena dianggap sebagai puncak perayaan kebebasan berpendapat dan berkumpul yang merupakan roh demokrasi. Di dalam pesta demokrasi ini warga Negara bebas mengekspresikan pendapatnya, keinginannya, cita-citanya serta sosok pemimpin yang dikehendakinya. Suasana seperti ini tidak mungkin kita temui di dalam Negara yang menganut paham dictator atau rejim otoriter. Pemilu adalah roh kebebasan yang melekat pada system demokrasi. Praktek demokrasi demikian ini sayangnya kurang diimbangi oleh karakter warga Negara yang rasional, khususnya di Negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Mengapa demikian? karena system demokrasi yang “baik” kurang diimbangi oleh pembentukan karakter bangsa, dalam literature politik disebut budaya politik. Struktur dan kultur mesti klop dalam menata kehidupan demokrasi. Strukturisasi mesti dibarengi dengan kulturisasi.

Di Indonesia ini proses kulturisasi demokrasi berjalan lambat sebagai akibat pengekangan kebebasan selama 32 tahun di bawah pemerintahan Soeharto. Setelah reformasi, begitu kran demokrasi dibuka seperti layaknya masyarakat yang haus akan air minum di alam padang pasir, masyarakat berpesta pora dengan tak terkendali. Semuanya asal berpendapat. Ilmu “pokoknya” menjadi pedoman. Pokoknya berpendapat, pokoknya mengkritik, pokoknya beda. Karena mental demokrasi belum siap yang terjadi “kebebasan yang tanpa batas” dan anarkhi. Sistem demokrasi yang baik layaknya bibit tanaman unggul akan memerlukan tanah yang cocok/tanah yang subur. Untuk menerapkan demokrasi tentunya tidak begitu saja “taken for granted”, ia memerlukan modal social dan sejarah yang kuat yang mampu menopang alam rasionalisme demokrasi. Untuk mengingatkan semua itu perlu diungkap sejarah kelahiran demokrasi sebagai sebuah diskursus yang berguna sebagai pendidikan politik warga Negara yang sekarang ini akan menunaikan haknya dalam pemilu 9 april nanti.


Diskursus Demokrasi


Diskursus demokrasi adalah salah satu diskursus politik yang paling menarik hingga abad ini. Demokrasi telah dianggap sebagai sistem politik yang paling “baik” diantara sistem politik-politik lain, karena ia memberi ruang lebih besar kepada kebebasan, persamaan manusia, dan partisipasi politik warga Negara.

Akan tetapi diskursus demokrasi adalah diskursus politik yang problematic, bahkan kalau kita simak artinya sebagai pemerintahan oleh rakyat jelas itu utopis. Maka dalam demokrasi modern pemerintahan perwakilan (rakyat) adalah modifikasi yang kontekstual dari demokrasi yang utopis tersebut.


Menurut Robert Dahl, Demokrasi adalah hasil gabungan aliran dari 4 (empat) sumber :
  1. Paham Demokrasi Yunani, yang dikenal dengan demokrasi langsung dimana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak atas dasar prosedur mayoritas.
  2. Tradisi Republikan yang berasal dari Roma kuno dan berkembang dalam Negara-negara kota Italia pada abad pertengahan dan Renainssance. Ciri utama renaissance adalah pemisahan Negara dengan gereja, dan dilanjutkan dengan massa Enlightment yang mengandalkan rasio semata-mata termasuk dalam pemikiran politik.
  3. Paham pemerintahan perwakilan.
  4. Logika kesamaan politik. 

Paham Demokrasi Yunani


Dimulai dengan reformasi sistem pemerintahan oleh Kleistenes pada tahun 508 SM. Dalam sistem pemerintahan itu semua keputusan penting diambil oleh sebuah majelis 500 orang yang dipilih untuk jangka waktu satu tahun atau dua tahun oleh semua warga negara. Makna demokrasi itu adalah bahwa negara-negara kota yang sejak dulu kala diperintah oleh pelbagai penguasa non-demokratis seperti bangsawan, elite, raja atau diktator, diubah menjadi sistem dimana sejumlah cukup besar orang laki-laki yang bebas dan dewasa berhak berpartisipasi langsung sebagai warga negara dalam pemerintahan.


Tradisi Republikan Roma kuno


Tradisi Republikan yang berasal dari Roma kuno sebenarnya merupakan sebuah aristokrasi, tetapi didalamnya rakyat (plebs) selalu memainkan peranan amat penting. Inti gagasan Republik adalah bahwa warga kota baru menjadi manusia dalam arti seutuhnya apabila ia berpartisipasi dalam kehidupan kenegaraan bersama, dan sebuah sistem politik hanyalah syah apabila tidak mengecualikan warga negaranya dari pemerintahannya.


Paham Pemerintahan Perwakilan


Dari kedua tradisi demokrasi di atas dimungkinkan oleh lingkup Negara yang kecil dan bersifat langsung. Tradisi-tradisi itu tidak cukup cocok untuk Negara modern dengan territorial besar sehingga demokrasi modern ada unsure baru yang masuk yaitu Perwakilan.
Tradisi perwakilan di Eropa mempunyai tradisi yang cukup panjang seperti Swedia, Inggris, Jerman yang sesungguhnya tidak dikaitkan dengan demokrasi, tetapi Negara Kerajaan. Perwakilan di sini masih terbatas pada kaum bangsawan dari para pangeran.
Demokrasi modern yan sinkron dengan tradisi Negara besar seperti sekarang ini diawali oleh Revolusi Kemerdekaan Amerika 1776 dan Revolusi Perancis 1789 dengan Adagium Liberte, Fraternite, Egalite. Pemerintahan oleh rakyat diberi pendasaran ideologis oleh Rousseau & John Locke, bahwa pemerintahan yang terbatas dan terkontrol.




Logika Kesamaan


Logika kesamaan derajat manusia adalah unsure yang paling universal diantara ketiga-tiganya diatas. Tradisi Yunani, Eropa bahkan agama-agama monoteisme di dunia ini mengakui kesamaan derajat manusia dihadapan Tuhan. Tradisi desa yang melembagakan Lembaga Musyawarah atau Lembaga Syura dalam tradisi Islam merupakan pendasaran ideologis yang paling esensial dari pemikiran dalil tentang demokrasi, hingga abad ini telah mengalami 3 (tiga) tahap Transformasi.
  1. Transformasi pertama berlangsung dari Yunani Kuno, Romawi, abad pertengahan hingga Renaissance.
  2. Transformasi kedua dengan hak politik terbatas berlangsung di Eropa pada awal abad 17.
  3. Transformasi ketiga pada abad 18 hingga sekarang sesungguhnya baru mencapai apa yang disebut Polyarchy. Tahap dimana lembaga-lembaga politik telah mengalami proses demokratisasi dan liberalisasi, namun masih diwarnai oleh ketidaksamaan, sehingga cita-cita demokrasi yang sempurna tetap belum bisa dicapai. Barangkali masuk akal juga, bahwa bagi para pengritik demokrasi : “pemerintahan oleh rakyat” hanyalah ilusi yang tidak diwujudkan dalam kenyataan. Dalam transformasi ketiga, Dahl menambahkan bahwa demokrasi akan lebih berarti dalam kenyataan kalau tidak hanya dalam dimensi politik tetapi juga meluas kepada demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, untuk mencapai cita-cita persamaan yang sesungguhnya dalam demokrasi Transformasi ketiga, badan-badan ekonomi perlu mendapat pengawasan negara.

Tradisi Rasionalisme


Dari sudut kesejarahan dan sosiologis perkembangan pemerintahan demokrasi berkait erat dengan perkembangan tradisi kekuasaan dari tradisi adi kodrati ke tradisi rasionalitas kesamaan derajat manusia. Perkembangan Negara dari Negara Tribalisme, monarki, aristokrasi, masyarakat kota. Negara-negara yang mengalami demokrasi hampir seluruhnya mengalami penetrasi budaya barat yang akar-akarnya pada kebudayaan Yunani kuno, Abad pertengahan, Renaissance, aufklarung, Revolusi Perancis, Revolusi Industri yang melahirkan liberalism. Maka, tak syak lagi bahwa “mainstream” pemikiran demokrasi sekarang ini Eropa – AS, Liberal – Kapitalisme.

Lebih dari itu system politik modern yang sesuai dengan masyarakat modern adalah Demokrasi. Demokrasi mendapat pendasaran ideologis pada masyarakat modern dan masyarakat modern menurut kacamata para ahli Barat adalah masyarakat industri dengan ciri-ciri : 
  1. Rasionalitas
  2. Masyarakat Industri
  3. Deferensiasi dan efisiensi
  4. Teknologi komunikasi
  5. Tidak atau kadang tergantung dengan alam. masyarakat yang tidak mempunyai ciri itu dianggap masyarakat tradisional.  

Lalu, yang menjadi pertanyaan apakah sebuah masyarakat/negara harus memodernkan dirinya dulu baru berdemokrasi?. Pertanyaan itu sudah dijawab oleh seorang ahli, bahwa demokrasi harus dijalankan melalui “Learning by Doing”.
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa lahirnya pemikiran demokrasi berasal dari budaya Barat yang rasional –individual-liberal dan mempunyai tonggak pada determinisme industrialisasi yang muaranya pada ekonomi. Inilah barangkali yang melahirkan pertanyaan mengapa jalannya demokrasi di Indonesia tidak semulus yang terjadi di negara-negara Barat. Karena :
  1. Indonesia tidak mengalamai penetrasi kebudayaan barat yang berakar pada kebudayaan Yunani yang rasional. Sementara akar kebudayaan indonesia dari India dan melayu yang lebih mempertimbangkan rasa drpd pikir/rasio. Maka penerapan demokrasi di Indonesia mesti di modifikasi dan disesuaikan dengan “nilai-nilai kearifan lokal” tanpa harus menghilangkan substansi demokrasi. Kalau seluruh tatanan kelembagaan dan proses demokrasi barat diterapkan di Indonesia tanpa ada penyesuaian tentu “ahistoris” dan hasilnya bisa kita jumpai bagaimana demokrasi di indonesia acapkali menjadi anarkhi. Kita ambil contoh misalnya, terjadi demo dengan perusakan fasilitas umum manakala tidak puas dengan hasil keputusan politik, ; ketidak siapan kalah manakala berkompetisi baik dalam pilkada maupun pilkades.
  2. Proses pelembagaan politik dan hukum serta proses sosialisasi dan internalisasi tidak berjalan seiring, sehingga terjadi ketimpangan 2 sisi itu yang mengakibatkan kurang “matching” nya partisipasi dan aspirasi masyarakat yang masih tradisional dengan pelembagaan politik yang relatif modern. Dan pada akhirnya terjadi kemampetan aspirasi di sana-sini yang menumbuhkan kekuatan2 ekstra parlementer maupun ekstra kelembagaan. Di mana-mana tumbuh berbagai bentuk lembaga ad hoc yang berujud komisi maupun majelis-majelis. Contohnya KPK dibentuk karena lembaga Kejaksaan dan Kepolisian tdk berfungsi sebagaimana mestinya dlm menagani korupsi. Sehingga terjadi distrust dari masyarakat.
  3. Masyarakat Indonesia bercorak agraris, sementara demokrasi dilahirkan oleh masyarakat industri. Seperti diketahui bahwa corak masyarakat agraris adalah komunal bukan individual –liberal seperti pada masyarakat industrial. Maka tentu saja demokrasi indonesia lebih pas bercorak komunal. Bagaimana corak demokrasi komunal tersebut harus diterapkan? Maka diperlukan pemikiran lebih lanjut bagaimana sistem politik indonesia harus di “setting” sesuai dengan budaya komunalisme Indonesia.
  4. Budaya politik indonesia yang berakar nilai-nilai ketimuran yang mengandalkan sisi afeksi ketimbang kognisi, merupakan kendala tersendiri menerapkan demokrasi rasional ala Barat di Indonesia. Maka, proses sosialisasi dan internalisasi untuk mempertajam kognisi masyarakat Indonesia perlu dilakukan terus menerus dan berkesinambungan. Sehingga budaya anarkhi yang mengandalkan emosi dapat berubah menjadi budaya kritis yang mengandalkan olah rasio/pikir.
  5. Kalau demokrasi merupakan hasil dari determinisme budaya dan ekonomi. Maka penerapan demokrasi di Indonesia harus bertahap dan seiring dengan kemajuan budaya dan ekonomi. Tidak bisa begitu saja menerapkan demokrasi mentah-mentah tetapi bertahap melalui sebuah pilot project di berbagai bidang dan di berbagai daerah sebagai proyek percontohan. Kita tahu bahwa tingkat kemajuan ekonomi dan budaya daerah di Indonesia ini tidak sama. Persepsi orang Irian tentang demokrasi dan pembangunan tentu saja akan berbeda jauh dengan persepsi masyarakat di pulau jawa yang relatif “maju”. Sebagai ambil contoh, penerapan otonomi daerah yang serentak di Indonesia berbeda implementasinya di tiap-tiap daerah. Ada daerah diperintah oleh raja-raja kecil, diperintah oleh sanak saudara dan keturunannya, ada daerah yang diperintah hanya oleh suku tertentu. Hal ini jelas bahwa penerapan demokrasi di tingkat lokal berbeda- beda pula karena tingkat budaya dan ekonomi yang berbeda. Ini merupakan ekses yang menerapkan otonomi yang serentak tetapi tidak melalui pilot project.
  6. Demokrasi di Barat berjalan di atas sistem ekonomi kapitalisme. Individualisme-liberalisme-kapitalisme merupakan trilogi demokrasi di Barat. Bagaimana sistem ekonomi suatu negara seperti Indonesia yang tidak berpaham kapitalisme harus mengadopsi demokrasi. Maka, Indonesia mesti mampu mencabut akar kapitalisme tsb dari sistem politik demokrasi. Tetapi pada pemerintahan SBY justru memperkuat neo-liberal. Inilah faktor yang menghambat proses demokrasi Di Indonesia.


Kesimpulannya adalah bahwa demokrasi memang alternatif sistem politik terbaik tetapi tidak serta merta setiap negara harus mengadopsi mentah-mentah sistem politik yang berakar dari sejarah kebudayaan Barat. Tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi budaya atau “nilai kearifan lokal” setiap negara. Kita ambil contoh misalnya Negara Iran. Iran adalah salah satu negara yang mampu menerapkan demokrasi yang disesuaikan dengan kondisi negaranya yaitu Theo-demokrasi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar