Pemilu baik
pemilu legislatif, presiden ataupun pilkada (pemilihan kepala daerah) sering
disebut sebagai “pesta demokrasi”, karena dianggap sebagai puncak perayaan
kebebasan berpendapat dan berkumpul yang merupakan roh demokrasi. Di dalam
pesta demokrasi ini warga Negara bebas mengekspresikan pendapatnya,
keinginannya, cita-citanya serta sosok pemimpin yang dikehendakinya. Suasana
seperti ini tidak mungkin kita temui di dalam Negara yang menganut paham
dictator atau rejim otoriter. Pemilu adalah roh kebebasan yang melekat pada
system demokrasi. Praktek demokrasi demikian ini sayangnya kurang diimbangi
oleh karakter warga Negara yang rasional, khususnya di Negara-negara berkembang
seperti di Indonesia. Mengapa demikian? karena system demokrasi yang “baik”
kurang diimbangi oleh pembentukan karakter bangsa, dalam literature politik
disebut budaya politik. Struktur dan kultur mesti klop dalam menata kehidupan
demokrasi. Strukturisasi mesti dibarengi dengan kulturisasi.
Di Indonesia ini
proses kulturisasi demokrasi berjalan lambat sebagai akibat pengekangan
kebebasan selama 32 tahun di bawah pemerintahan Soeharto. Setelah reformasi,
begitu kran demokrasi dibuka seperti layaknya masyarakat yang haus akan air
minum di alam padang pasir, masyarakat berpesta pora dengan tak terkendali.
Semuanya asal berpendapat. Ilmu “pokoknya” menjadi pedoman. Pokoknya
berpendapat, pokoknya mengkritik, pokoknya beda. Karena mental demokrasi belum
siap yang terjadi “kebebasan yang tanpa batas” dan anarkhi. Sistem demokrasi
yang baik layaknya bibit tanaman unggul akan memerlukan tanah yang cocok/tanah
yang subur. Untuk menerapkan demokrasi tentunya tidak begitu saja “taken for
granted”, ia memerlukan modal social dan sejarah yang kuat yang mampu menopang
alam rasionalisme demokrasi. Untuk mengingatkan semua itu perlu diungkap
sejarah kelahiran demokrasi sebagai sebuah diskursus yang berguna sebagai
pendidikan politik warga Negara yang sekarang ini akan menunaikan haknya dalam
pemilu 9 april nanti.
Diskursus Demokrasi
Diskursus
demokrasi adalah salah satu diskursus politik yang paling menarik hingga abad
ini. Demokrasi telah dianggap sebagai sistem politik yang paling “baik”
diantara sistem politik-politik lain, karena ia memberi ruang lebih besar
kepada kebebasan, persamaan manusia, dan partisipasi politik warga Negara.
Akan tetapi
diskursus demokrasi adalah diskursus politik yang problematic, bahkan kalau
kita simak artinya sebagai pemerintahan oleh rakyat jelas itu utopis. Maka
dalam demokrasi modern pemerintahan perwakilan (rakyat) adalah modifikasi yang kontekstual
dari demokrasi yang utopis tersebut.
- Paham Demokrasi Yunani, yang dikenal dengan demokrasi langsung dimana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak atas dasar prosedur mayoritas.
- Tradisi Republikan yang berasal dari Roma kuno dan berkembang dalam Negara-negara kota Italia pada abad pertengahan dan Renainssance. Ciri utama renaissance adalah pemisahan Negara dengan gereja, dan dilanjutkan dengan massa Enlightment yang mengandalkan rasio semata-mata termasuk dalam pemikiran politik.
- Paham pemerintahan perwakilan.
- Logika kesamaan politik.
Paham Demokrasi Yunani
Dimulai dengan
reformasi sistem pemerintahan oleh Kleistenes pada tahun 508 SM. Dalam sistem
pemerintahan itu semua keputusan penting diambil
oleh sebuah majelis 500 orang yang dipilih untuk jangka waktu satu tahun atau
dua tahun oleh semua warga negara. Makna demokrasi itu adalah bahwa
negara-negara kota yang sejak dulu kala diperintah oleh pelbagai penguasa
non-demokratis seperti bangsawan, elite, raja atau diktator, diubah menjadi
sistem dimana sejumlah cukup besar orang laki-laki yang bebas dan dewasa berhak
berpartisipasi langsung sebagai warga negara dalam pemerintahan.
Tradisi
Republikan Roma kuno
Tradisi
Republikan yang berasal dari Roma kuno sebenarnya merupakan sebuah aristokrasi,
tetapi didalamnya rakyat (plebs) selalu memainkan peranan amat penting. Inti
gagasan Republik adalah bahwa warga kota baru menjadi manusia dalam arti
seutuhnya apabila ia berpartisipasi dalam kehidupan kenegaraan bersama, dan
sebuah sistem politik hanyalah syah apabila tidak mengecualikan warga negaranya
dari pemerintahannya.
Paham Pemerintahan Perwakilan
Dari kedua
tradisi demokrasi di atas dimungkinkan oleh lingkup Negara yang kecil dan
bersifat langsung. Tradisi-tradisi itu tidak cukup cocok untuk Negara modern
dengan territorial besar sehingga demokrasi modern ada unsure baru yang masuk
yaitu Perwakilan.
Tradisi
perwakilan di Eropa mempunyai tradisi yang cukup panjang seperti Swedia,
Inggris, Jerman yang sesungguhnya tidak dikaitkan dengan demokrasi, tetapi
Negara Kerajaan. Perwakilan di sini masih terbatas pada kaum bangsawan dari
para pangeran.
Demokrasi modern
yan sinkron dengan tradisi Negara besar seperti sekarang ini diawali oleh
Revolusi Kemerdekaan Amerika 1776 dan Revolusi Perancis 1789 dengan Adagium
Liberte, Fraternite, Egalite. Pemerintahan oleh rakyat diberi pendasaran
ideologis oleh Rousseau & John Locke, bahwa pemerintahan yang terbatas dan
terkontrol.
Logika
Kesamaan
Logika kesamaan
derajat manusia adalah unsure yang paling universal diantara ketiga-tiganya
diatas. Tradisi Yunani, Eropa bahkan agama-agama monoteisme di dunia ini
mengakui kesamaan derajat manusia dihadapan Tuhan. Tradisi desa yang
melembagakan Lembaga Musyawarah atau Lembaga Syura dalam tradisi Islam
merupakan pendasaran ideologis yang paling esensial dari pemikiran dalil
tentang demokrasi, hingga abad ini telah mengalami 3 (tiga) tahap Transformasi.
- Transformasi pertama berlangsung dari Yunani Kuno, Romawi, abad pertengahan hingga Renaissance.
- Transformasi kedua dengan hak politik terbatas berlangsung di Eropa pada awal abad 17.
- Transformasi ketiga pada abad 18 hingga sekarang sesungguhnya baru mencapai apa yang disebut Polyarchy. Tahap dimana lembaga-lembaga politik telah mengalami proses demokratisasi dan liberalisasi, namun masih diwarnai oleh ketidaksamaan, sehingga cita-cita demokrasi yang sempurna tetap belum bisa dicapai. Barangkali masuk akal juga, bahwa bagi para pengritik demokrasi : “pemerintahan oleh rakyat” hanyalah ilusi yang tidak diwujudkan dalam kenyataan. Dalam transformasi ketiga, Dahl menambahkan bahwa demokrasi akan lebih berarti dalam kenyataan kalau tidak hanya dalam dimensi politik tetapi juga meluas kepada demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, untuk mencapai cita-cita persamaan yang sesungguhnya dalam demokrasi Transformasi ketiga, badan-badan ekonomi perlu mendapat pengawasan negara.
Tradisi Rasionalisme
Dari sudut
kesejarahan dan sosiologis perkembangan pemerintahan demokrasi berkait erat dengan
perkembangan tradisi kekuasaan dari tradisi adi kodrati ke tradisi rasionalitas
kesamaan derajat manusia. Perkembangan Negara dari Negara Tribalisme,
monarki, aristokrasi, masyarakat kota. Negara-negara yang mengalami demokrasi
hampir seluruhnya mengalami penetrasi budaya barat yang akar-akarnya pada
kebudayaan Yunani kuno, Abad pertengahan, Renaissance, aufklarung, Revolusi Perancis, Revolusi Industri yang melahirkan
liberalism. Maka, tak syak lagi bahwa “mainstream” pemikiran demokrasi sekarang
ini Eropa – AS, Liberal – Kapitalisme.
Lebih
dari itu system politik modern yang sesuai dengan masyarakat modern adalah Demokrasi.
Demokrasi mendapat pendasaran ideologis pada masyarakat modern dan masyarakat
modern menurut kacamata para ahli Barat adalah masyarakat industri dengan ciri-ciri
:
- Rasionalitas
- Masyarakat Industri
- Deferensiasi dan efisiensi
- Teknologi komunikasi
- Tidak atau kadang tergantung dengan alam. masyarakat yang tidak mempunyai ciri itu dianggap masyarakat tradisional.
Lalu, yang menjadi pertanyaan apakah sebuah
masyarakat/negara harus memodernkan dirinya dulu baru berdemokrasi?. Pertanyaan
itu sudah dijawab oleh seorang ahli, bahwa demokrasi harus dijalankan melalui
“Learning by Doing”.
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa lahirnya pemikiran
demokrasi berasal dari budaya Barat yang rasional –individual-liberal dan mempunyai
tonggak pada determinisme industrialisasi yang muaranya pada ekonomi. Inilah
barangkali yang melahirkan pertanyaan mengapa jalannya demokrasi di Indonesia
tidak semulus yang terjadi di negara-negara Barat. Karena :- Indonesia tidak mengalamai penetrasi kebudayaan barat yang berakar pada kebudayaan Yunani yang rasional. Sementara akar kebudayaan indonesia dari India dan melayu yang lebih mempertimbangkan rasa drpd pikir/rasio. Maka penerapan demokrasi di Indonesia mesti di modifikasi dan disesuaikan dengan “nilai-nilai kearifan lokal” tanpa harus menghilangkan substansi demokrasi. Kalau seluruh tatanan kelembagaan dan proses demokrasi barat diterapkan di Indonesia tanpa ada penyesuaian tentu “ahistoris” dan hasilnya bisa kita jumpai bagaimana demokrasi di indonesia acapkali menjadi anarkhi. Kita ambil contoh misalnya, terjadi demo dengan perusakan fasilitas umum manakala tidak puas dengan hasil keputusan politik, ; ketidak siapan kalah manakala berkompetisi baik dalam pilkada maupun pilkades.
- Proses pelembagaan politik dan hukum serta proses sosialisasi dan internalisasi tidak berjalan seiring, sehingga terjadi ketimpangan 2 sisi itu yang mengakibatkan kurang “matching” nya partisipasi dan aspirasi masyarakat yang masih tradisional dengan pelembagaan politik yang relatif modern. Dan pada akhirnya terjadi kemampetan aspirasi di sana-sini yang menumbuhkan kekuatan2 ekstra parlementer maupun ekstra kelembagaan. Di mana-mana tumbuh berbagai bentuk lembaga ad hoc yang berujud komisi maupun majelis-majelis. Contohnya KPK dibentuk karena lembaga Kejaksaan dan Kepolisian tdk berfungsi sebagaimana mestinya dlm menagani korupsi. Sehingga terjadi distrust dari masyarakat.
- Masyarakat Indonesia bercorak agraris, sementara demokrasi dilahirkan oleh masyarakat industri. Seperti diketahui bahwa corak masyarakat agraris adalah komunal bukan individual –liberal seperti pada masyarakat industrial. Maka tentu saja demokrasi indonesia lebih pas bercorak komunal. Bagaimana corak demokrasi komunal tersebut harus diterapkan? Maka diperlukan pemikiran lebih lanjut bagaimana sistem politik indonesia harus di “setting” sesuai dengan budaya komunalisme Indonesia.
- Budaya politik indonesia yang berakar nilai-nilai ketimuran yang mengandalkan sisi afeksi ketimbang kognisi, merupakan kendala tersendiri menerapkan demokrasi rasional ala Barat di Indonesia. Maka, proses sosialisasi dan internalisasi untuk mempertajam kognisi masyarakat Indonesia perlu dilakukan terus menerus dan berkesinambungan. Sehingga budaya anarkhi yang mengandalkan emosi dapat berubah menjadi budaya kritis yang mengandalkan olah rasio/pikir.
- Kalau demokrasi merupakan hasil dari determinisme budaya dan ekonomi. Maka penerapan demokrasi di Indonesia harus bertahap dan seiring dengan kemajuan budaya dan ekonomi. Tidak bisa begitu saja menerapkan demokrasi mentah-mentah tetapi bertahap melalui sebuah pilot project di berbagai bidang dan di berbagai daerah sebagai proyek percontohan. Kita tahu bahwa tingkat kemajuan ekonomi dan budaya daerah di Indonesia ini tidak sama. Persepsi orang Irian tentang demokrasi dan pembangunan tentu saja akan berbeda jauh dengan persepsi masyarakat di pulau jawa yang relatif “maju”. Sebagai ambil contoh, penerapan otonomi daerah yang serentak di Indonesia berbeda implementasinya di tiap-tiap daerah. Ada daerah diperintah oleh raja-raja kecil, diperintah oleh sanak saudara dan keturunannya, ada daerah yang diperintah hanya oleh suku tertentu. Hal ini jelas bahwa penerapan demokrasi di tingkat lokal berbeda- beda pula karena tingkat budaya dan ekonomi yang berbeda. Ini merupakan ekses yang menerapkan otonomi yang serentak tetapi tidak melalui pilot project.
- Demokrasi di Barat berjalan di atas sistem ekonomi kapitalisme. Individualisme-liberalisme-kapitalisme merupakan trilogi demokrasi di Barat. Bagaimana sistem ekonomi suatu negara seperti Indonesia yang tidak berpaham kapitalisme harus mengadopsi demokrasi. Maka, Indonesia mesti mampu mencabut akar kapitalisme tsb dari sistem politik demokrasi. Tetapi pada pemerintahan SBY justru memperkuat neo-liberal. Inilah faktor yang menghambat proses demokrasi Di Indonesia.
Kesimpulannya adalah bahwa
demokrasi memang alternatif sistem politik terbaik tetapi tidak serta merta
setiap negara harus mengadopsi mentah-mentah sistem politik yang berakar dari
sejarah kebudayaan Barat. Tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi budaya atau
“nilai kearifan lokal” setiap negara. Kita ambil contoh misalnya Negara Iran.
Iran adalah salah satu negara yang mampu menerapkan demokrasi yang disesuaikan
dengan kondisi negaranya yaitu Theo-demokrasi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar