Tujuan
Tulisan ini :
- Ibarat bola salju, ini bola yg baru dilapisi 1 lapisan salju. Berharap, bola salju akan terus menggelinding ke bawah dengan selimut salju yang tebal.
- Ingin mengatakan : kebijakan penataan ruang ”Mbok iyao” jangan dilepaskan dari proses kebudayaan;
- Ingin mengatakan : kebijakan penataan ruang jangan hanya berorientasi pada ”guna”, tetapi perlu men ”stressing” emansipatoris.
- Tata ruang jgn diorientasikan hanya pada ”pleasure” dan ”enjoy”, tetapi safety human relation and justice.
Ruang dalam UU No 26/2007
diartikan secara fisikal yakni ruang darat, udara, air. Ruang berkorelasi
dengan suatu “space” yang bermakna tempat manusia tinggal dan beraktifitas. Tata
ruang sebagai wujud pola dan struktur ruang terbentuk secara alamiah dan
sebagai wujud dari hasil proses-proses alam maupun dari hasil proses sosial
akibat adanya pembelajaran (learning process) yang terus menerus. Dengan
demikian tata ruang dan upaya perubahan-perubahannya sebenarnya sudah terwujud
sebelum kita secara formal melakukan upaya-upaya mengubah tata ruang yang
terstruktur yang kita sebut sebagai rencana tata ruang. Proses “pembelajaran”
yang berkelanjutan adalah buah pengalaman manusia yang di dalam kehidupannya
berada dalam siklus tanpa akhir berupa: pemanfaatan ruang, monitoring
(mengamati) ruang, evaluasi (pembelajaran), tindakan pengendalian ruang, perencanaan
(upaya memperbaiki dan mengantisipasi masa depan) ruang, pemanfaatan ruang…..,
dan seterusnya. Rangkaian siklus kegiatan di atas adalah kegiatan penataan
ruang.
Dengan demikian penataan
ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan
ruang dari satu keseimbangan ke keseimbangan baru yang “lebih baik”. Penataan
ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Sebagai proses
perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang secara formal
adalah bagian dari proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial
dari proses pembangunan sekaligus menyangkut aspek-aspek social yang bermuara
pada pembebasan manusia dari ketidaknyamanan hidup.
Aktifitas hidup sehari-hari
manusia merupakan suatu yang profane. Manakala yang profane sudah tidak nyaman,
niscaya akan menggangu aktifitas spiritual dan yang berbau “sacred”. Keadaan di
mana aktifitas spiritual manusia terganggu dan tertekan, maka akan berbahaya
masa depan kebudayaan manusia. Manusia menjadi tidak humanis, egois, kasar, dan
brutal. Kecenderungan-kecenderungan ini sudah terasakan sekarang ini.
Urgensi atas penataan ruang
timbul sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi
publik atau colective action terhadap kegagalan mekanisme pasar (market
failure) dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan
bersama. Dengan kata lain penataan ruang adalah merupakan bentuk intervensi
positif atas kehidupan sosial dan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan
yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik, penataan ruang dilakukan sebagai:
(1) Optimasi
pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya):
(Prinsip efisiensi dan produktifitas),
(2) Alat
dan wujud distribusi sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan,
dan
(3) Menjaga
keberlanjutan (sustainability) pembangunan. Beberapa pihak lainnya menambahkan
dua tujuan lainnya yakni sebagai upaya:
(4)
Menciptakan rasa aman dan
(5)
Kenyamanan ruang dan berelasi
Setidaknya terdapat dua
unsur penataan ruang, pertama,
menyangkut unsur kelembagaan/institusional (institutional arrangement) penataan
ruang, dan kedua, menyangkat proses
penataan fisik ruang.
Unsur non-fisik/kelembagaan
dalam penataan ruang mencakup aspek-aspek mengenai penyusunan aturan-aturan
(rule of game) dan aspek-aspek pengorganisasian dalam rangka
mengimplementasikan aturan-aturan penataan ruang.
Unsur pengaturan atau tata
pengaturan kelembagaan adalah pengaturan yang tidak bersifat fisik (tidak
terlihat) akan tetapi sering dianggap sebagai hal yang terpenting di dalam
penataan ruang. Karena inti dari unsur yang pertama ini adalah mengatur
hubungan-hubungan antar manusia di dalam penataan ruang dan mengatur hubungan
manusia dengan ruang beserta sumberdaya-sumberdaya di dalamnya. Dengan
demikian, selama manusia dianggap sebagai pihak yang paling menentukan di dalam
dinamika tata ruang, maka sangat penting untuk dapat mengarahkan cara pandang
(sistem nilai) manusia tentang dirinya, masyarakat dan sumberdaya di dalam
ruang serta mengatur perilaku manusia terhadap ruang dan
sumberdaya-sumberdayanya. Pengaturan yang baik atas unsur-unsur kelembagaan
(institutional arrangement) akan menjamin penataan ruang yang berkeberlanjutan.
Dari berbagai paparan para ahli
ketataruangan kata “aktifitas“ selalu diarahkan pada orientasi ekonomi dan
lingkungan fisik. Penataan ruang dimaknai hanya sebatas sebagai tindakan
instrumental. Kurang dimengerti sebagai tindakan “komunikatif” yang dielaborasi
sebagai ruang social, di mana “roh” ruang social adalah interaksi social
(kontak dan komunikasi). Setiap interaksi social mesti membutuhkan apa yang dinamakan
“ruang public” (public sphere) . Pada setiap ruang public senantiasa menghasilkan
apa yang dinamakan Habermas sebagai “public good” dan “public interest”. Mengapa
dengan demikian? Karena praksis kehidupan manusia bukanlah hanya bermakna
“kerja” (tindakan instrumental) menghasilkan “sukses”, melainkan juga
“interaksi” (tindakan simbolik) yang menghasilkan emansipasi. Maka, kehidupan
manusia mestinya tidak hanya diarahkan kepada kesuksesan (orientasi tindakan
instrumental) tetapi juga ke arah emansipatoris : pembebasan dari belenggu
ketidaknyamanan-ketidaknyamanan social.
Sesuatu yang bebas nilai yang didengungkan
oleh kaum positivisme adalah omong kosong. Segala sesuatu yang dianggap baik
dalam kacamata adalah yang efisien dan efektif, ini untuk siapa. Tetap saja
untuk sekelompok orang yang mempunyai akses kekuasaan dan ekonomi.Demikian
pula, kebijakan penataan ruang dengan segala aturan yang dihasilkan untuk
kepentingan siapa? Apakah tidak ada suatu kepentingan “tangan-tangan tak
kentara” dari suatu “Isme” tertentu.
Kit ambil contoh misalnya, pembangunan Mall,
Hypermall, apartemen mewah yang bertebaran di Kota-Kota besar, barangkali
membuat efisisen aftifitas penduduk, memudahkan belanja dan rekreasi (mode for)
Akan tetapi apakah fakta itu telah mewakili realitas ekonomi masyarakat banyak
(mode of). Pembukaan jalan-jalan baru, busway dan sejenisnya memang meudahkan
orang bepergian (mode for), tetapi apakah itu mencerminkan konsep orang kota tentang waktu,
misalnya. Bebarapa contoh ini jelas bahwa kebijakan penataan orang kota mengabdi pada mode
for. Ini cermin mem “positivistic” kehidupan social. Manusia disetting untk
menjadi makhluk mekanistik.
Kebijakan penataan ruang sebagai “teman dekat”
manajemen public harus berani menjauhkan diri dari kepentingan hegemoni
kekuasaan. Dia mesti dipahami dalam kerangka simbolik (meta empiris, meta
narasi, meta fakta) sebagai suatu rposes kebudayaan.
Hubungan di antara konsepsi
dan simbol yang menyampaikannya bersifat ganda, di mana suatu simbol dapat
berfungsi sebagai "model tentang" (model of) --penyesuaian suatu
sistem simbolik dengan sistem non-simbolik (fisik, sosial) yang sudah ada
sebelumnya-- dan/atau sebagai "model untuk" (model for) --penyesuaian
sistem non-simbolik yang masih harus diadakan (fisik, sosial) dengan suatu
sistem sim- bolik yang sudah ada.
Suatu simbol kebudayaan
selalu merupakan perpaduan antara model
of dan model for.. Contoh
paling jelas adalah peta dan tata ruang Jakarta dan sekitarnya yang di
persoalkan di atas.
Hal-hal yang
dikemukakan di atas, adalah sebagian sikap kritis kita terhadap kebijakan
penataan ruang. Kritik di sini tidak mesti “menolak” tetapi sebagai suatu
sikap “wanti2”, memperingatkan. Mengapa harus kritis?
- Karena membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan dengan memberi perangkat pada semua pihak untuk membebaskan diri dari selubung ideologi dan kesadaran palsu yang ada pada masing-masing pihak.
- Namun demikian, kritik itu bukanlah lewat revolusi dengan kekerasan, melainkan lewat cara argumentasi, diskursus dll. Revolusi adalah kritik dalam kerangka hubungan kerja di mana kritik berarti perjuangan kelas revolusioner; penaklukan kelas oleh kelas.
- Kritik dalam tindakan komunikatif didasarkan pada sentralitas argumentasi: partisipan berusaha membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebut ‘klaim-klaim kesahihan’. Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus.
Sebuah
kebijakan sosial, dengan begitu, dapat disebut berparadigma kritis apabila ia
didasarkan pada tindakan komunikatif dengan mencerminkan dua pengertian kritik
yang disebutkan di atas, baik pada tataran substansi, prosedur maupun proses. Sementara,
tujuan kebijakan bukan lagi untuk menghasilkan suatu desain yang bercorak
teknokratis. Melainkan untuk mempertinggi kapasitas semua pihak dalam rangka
negosiasi kepentingan dan pandangan menuju sebuah konsensus yang bebas dan
setara tanpa ada dominasi.
Hal-hal yang
perlu dielaborasi adalah :
- Kebijakan (beserta implementasinya) penataan ruang harus dimaknai sebagai campuran dari proses kebudayaan (aspek simbolik) dan manajemen-teknis-ekonomi (spasial). Dan harus merupakan perkawinan yang harmonis antara yang tindakan instrumental dan tindakan komunikatrif;
- kebijakan penataan ruang sebaiknya dipahami sebagai kenyataan historisitas manusia, ia merupakan realitas yang “kodrati”. Dan bukan dipahami sebagai realitas absurditas –modernitas.
- Kebijakan penataan ruang sebaiknya menghasilkan public sphere dan tempat dimana civil society dpt bercengkerama, bukan melulu menghasilkan “public space”.
- Kebijakan penataan ruang sebaiknya mengabdi pada tatakrama ruang, jangan mengabdi pada “Tata Uang”.
- Pasar, uang, swasta perlu. Kolaborasi negara dan pasar perlu. Tetapi semuanya harus dilihat secara proporsional. Semua Ini hanya “wanti2”
* makalah ini hanya sebagai bahan mentah untuk
diskusi. Bukan makalah ilmiah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
BACAAN-BACAAN UNTUK MEMPERDALAM:
HABERMAS : 1. Teori Tindakan
Komunikatif
2. Pertautan Ilmu dan kepentingan
GEERTZ : 1. Culture
: ”Mode of” and ”Mode for”
GRAMSCII : 1. Prison Notebook
FADILLAH
PUTRA : 1. Paradigma Kritis
Kebijakan Publik
ANTONNY GIDDENS : 1. The Third Way
Tidak ada komentar:
Posting Komentar