Kategori

Rabu, 21 Mei 2014

MANUSIA, RUANG DAN RELASI*



Tujuan Tulisan ini :
  1. Ibarat bola salju, ini bola yg baru dilapisi 1 lapisan salju. Berharap, bola salju akan terus menggelinding ke bawah dengan selimut salju yang tebal.
  2. Ingin mengatakan : kebijakan penataan ruang ”Mbok iyao” jangan dilepaskan dari proses kebudayaan;
  3. Ingin mengatakan : kebijakan penataan ruang jangan hanya berorientasi pada ”guna”, tetapi perlu men ”stressing” emansipatoris.
  4. Tata ruang jgn diorientasikan hanya pada ”pleasure” dan ”enjoy”, tetapi safety human relation and justice.
Ruang dalam UU No 26/2007 diartikan secara fisikal yakni ruang darat, udara, air. Ruang berkorelasi dengan suatu “space” yang bermakna tempat manusia tinggal dan beraktifitas. Tata ruang sebagai wujud pola dan struktur ruang terbentuk secara alamiah dan sebagai wujud dari hasil proses-proses alam maupun dari hasil proses sosial akibat adanya pembelajaran (learning process) yang terus menerus. Dengan demikian tata ruang dan upaya perubahan-perubahannya sebenarnya sudah terwujud sebelum kita secara formal melakukan upaya-upaya mengubah tata ruang yang terstruktur yang kita sebut sebagai rencana tata ruang. Proses “pembelajaran” yang berkelanjutan adalah buah pengalaman manusia yang di dalam kehidupannya berada dalam siklus tanpa akhir berupa: pemanfaatan ruang, monitoring (mengamati) ruang, evaluasi (pembelajaran), tindakan pengendalian ruang, perencanaan (upaya memperbaiki dan mengantisipasi masa depan) ruang, pemanfaatan ruang….., dan seterusnya. Rangkaian siklus kegiatan di atas adalah kegiatan penataan ruang.
Dengan demikian penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan ke keseimbangan baru yang “lebih baik”. Penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Sebagai proses perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang secara formal adalah bagian dari proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses pembangunan sekaligus menyangkut aspek-aspek social yang bermuara pada pembebasan manusia dari ketidaknyamanan hidup.
Aktifitas hidup sehari-hari manusia merupakan suatu yang profane. Manakala yang profane sudah tidak nyaman, niscaya akan menggangu aktifitas spiritual dan yang berbau “sacred”. Keadaan di mana aktifitas spiritual manusia terganggu dan tertekan, maka akan berbahaya masa depan kebudayaan manusia. Manusia menjadi tidak humanis, egois, kasar, dan brutal. Kecenderungan-kecenderungan ini sudah terasakan sekarang ini.
Urgensi atas penataan ruang timbul sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi publik atau colective action terhadap kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Dengan kata lain penataan ruang adalah merupakan bentuk intervensi positif atas kehidupan sosial dan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik, penataan ruang dilakukan sebagai:
(1)    Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): (Prinsip efisiensi dan produktifitas),
(2)    Alat dan wujud distribusi sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan
(3) Menjaga keberlanjutan (sustainability) pembangunan. Beberapa pihak lainnya menambahkan dua tujuan lainnya yakni sebagai upaya:
(4)    Menciptakan rasa aman dan
(5)    Kenyamanan ruang dan berelasi

Setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, pertama, menyangkut unsur kelembagaan/institusional (institutional arrangement) penataan ruang, dan kedua, menyangkat proses penataan fisik ruang.
Unsur non-fisik/kelembagaan dalam penataan ruang mencakup aspek-aspek mengenai penyusunan aturan-aturan (rule of game) dan aspek-aspek pengorganisasian dalam rangka mengimplementasikan aturan-aturan penataan ruang.
Unsur pengaturan atau tata pengaturan kelembagaan adalah pengaturan yang tidak bersifat fisik (tidak terlihat) akan tetapi sering dianggap sebagai hal yang terpenting di dalam penataan ruang. Karena inti dari unsur yang pertama ini adalah mengatur hubungan-hubungan antar manusia di dalam penataan ruang dan mengatur hubungan manusia dengan ruang beserta sumberdaya-sumberdaya di dalamnya. Dengan demikian, selama manusia dianggap sebagai pihak yang paling menentukan di dalam dinamika tata ruang, maka sangat penting untuk dapat mengarahkan cara pandang (sistem nilai) manusia tentang dirinya, masyarakat dan sumberdaya di dalam ruang serta mengatur perilaku manusia terhadap ruang dan sumberdaya-sumberdayanya. Pengaturan yang baik atas unsur-unsur kelembagaan (institutional arrangement) akan menjamin penataan ruang yang berkeberlanjutan.

Dari berbagai paparan para ahli ketataruangan kata “aktifitas“ selalu diarahkan pada orientasi ekonomi dan lingkungan fisik. Penataan ruang dimaknai hanya sebatas sebagai tindakan instrumental. Kurang dimengerti sebagai tindakan “komunikatif” yang dielaborasi sebagai ruang social, di mana “roh” ruang social adalah interaksi social (kontak dan komunikasi). Setiap interaksi social mesti membutuhkan apa yang dinamakan “ruang public” (public sphere) . Pada setiap ruang public senantiasa menghasilkan apa yang dinamakan Habermas sebagai “public good” dan “public interest”. Mengapa dengan demikian? Karena praksis kehidupan manusia bukanlah hanya bermakna “kerja” (tindakan instrumental) menghasilkan “sukses”, melainkan juga “interaksi” (tindakan simbolik) yang menghasilkan emansipasi. Maka, kehidupan manusia mestinya tidak hanya diarahkan kepada kesuksesan (orientasi tindakan instrumental) tetapi juga ke arah emansipatoris : pembebasan dari belenggu ketidaknyamanan-ketidaknyamanan social.
Sesuatu yang bebas nilai yang didengungkan oleh kaum positivisme adalah omong kosong. Segala sesuatu yang dianggap baik dalam kacamata adalah yang efisien dan efektif, ini untuk siapa. Tetap saja untuk sekelompok orang yang mempunyai akses kekuasaan dan ekonomi.Demikian pula, kebijakan penataan ruang dengan segala aturan yang dihasilkan untuk kepentingan siapa? Apakah tidak ada suatu kepentingan “tangan-tangan tak kentara” dari suatu “Isme” tertentu.
 Kit ambil contoh misalnya, pembangunan Mall, Hypermall, apartemen mewah yang bertebaran di Kota-Kota besar, barangkali membuat efisisen aftifitas penduduk, memudahkan belanja dan rekreasi (mode for) Akan tetapi apakah fakta itu telah mewakili realitas ekonomi masyarakat banyak (mode of). Pembukaan jalan-jalan baru, busway dan sejenisnya memang meudahkan orang bepergian (mode for), tetapi apakah itu mencerminkan konsep orang kota tentang waktu, misalnya. Bebarapa contoh ini jelas bahwa kebijakan penataan orang kota mengabdi pada mode for. Ini cermin mem “positivistic” kehidupan social. Manusia disetting untk menjadi makhluk mekanistik.

Kebijakan penataan ruang sebagai “teman dekat” manajemen public harus berani menjauhkan diri dari kepentingan hegemoni kekuasaan. Dia mesti dipahami dalam kerangka simbolik (meta empiris, meta narasi, meta fakta) sebagai suatu rposes kebudayaan.
Hubungan di antara konsepsi dan simbol yang menyampaikannya bersifat ganda, di mana suatu simbol dapat berfungsi sebagai "model tentang" (model of) --penyesuaian suatu sistem simbolik dengan sistem non-simbolik (fisik, sosial) yang sudah ada sebelumnya-- dan/atau sebagai "model untuk" (model for) --penyesuaian sistem non-simbolik yang masih harus diadakan (fisik, sosial) dengan suatu sistem sim- bolik yang sudah ada.
Suatu simbol kebudayaan selalu merupakan perpaduan antara model of dan model for.. Contoh paling jelas adalah peta dan tata ruang Jakarta dan sekitarnya yang di persoalkan di atas.
Hal-hal yang dikemukakan di atas, adalah sebagian sikap kritis kita terhadap kebijakan penataan ruang. Kritik di sini tidak mesti “menolak” tetapi sebagai suatu sikap “wanti2”, memperingatkan. Mengapa harus kritis?
  1. Karena membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan dengan memberi perangkat pada semua pihak untuk membebaskan diri dari selubung ideologi dan kesadaran palsu yang ada pada masing-masing pihak.
  2. Namun demikian, kritik itu bukanlah lewat revolusi dengan kekerasan, melainkan lewat cara argumentasi, diskursus dll. Revolusi adalah kritik dalam kerangka hubungan kerja di mana kritik berarti perjuangan kelas revolusioner; penaklukan kelas oleh kelas.
  3. Kritik dalam tindakan komunikatif didasarkan pada sentralitas argumentasi: partisipan berusaha membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebut ‘klaim-klaim kesahihan’. Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus.
Sebuah kebijakan sosial, dengan begitu, dapat disebut berparadigma kritis apabila ia didasarkan pada tindakan komunikatif dengan mencerminkan dua pengertian kritik yang disebutkan di atas, baik pada tataran substansi, prosedur maupun proses. Sementara, tujuan kebijakan bukan lagi untuk menghasilkan suatu desain yang bercorak teknokratis. Melainkan untuk mempertinggi kapasitas semua pihak dalam rangka negosiasi kepentingan dan pandangan menuju sebuah konsensus yang bebas dan setara tanpa ada dominasi.

Hal-hal yang perlu dielaborasi adalah :
  1. Kebijakan (beserta implementasinya) penataan ruang harus dimaknai sebagai campuran dari proses kebudayaan (aspek simbolik) dan manajemen-teknis-ekonomi (spasial). Dan harus merupakan perkawinan yang harmonis antara yang tindakan instrumental dan tindakan komunikatrif;
  2. kebijakan penataan ruang sebaiknya dipahami sebagai kenyataan historisitas manusia, ia merupakan realitas yang “kodrati”. Dan bukan dipahami sebagai realitas absurditas –modernitas.
  3. Kebijakan penataan ruang sebaiknya menghasilkan public sphere dan tempat dimana civil society dpt bercengkerama, bukan melulu menghasilkan “public space”.
  4. Kebijakan penataan ruang sebaiknya mengabdi pada tatakrama ruang, jangan mengabdi pada “Tata Uang”. 
  5. Pasar, uang, swasta perlu. Kolaborasi negara dan pasar perlu. Tetapi semuanya harus dilihat secara proporsional. Semua Ini hanya “wanti2”

* makalah ini hanya sebagai bahan mentah untuk diskusi. Bukan makalah ilmiah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
BACAAN-BACAAN UNTUK MEMPERDALAM:

HABERMAS                 :    1.  Teori Tindakan Komunikatif
                                             2.  Pertautan Ilmu dan kepentingan
GEERTZ                        :    1.  Culture : ”Mode of” and ”Mode for”
GRAMSCII                     :    1.  Prison Notebook
FADILLAH PUTRA       :    1.  Paradigma Kritis Kebijakan Publik
ANTONNY GIDDENS  :    1.  The Third Way

Tidak ada komentar:

Posting Komentar