Reformasi Kepegawaian memasuki taraf perubahan signifikan dengan
ditetapkan UU No. 5 /2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memperbarui
UU Pokok Kepegawaian Nomor 43/1999. Istilah
kepegawaian diganti dengan Aparatur Sipil Negara bukan tanpa maksud.
Sebelumnya Pegawai Negeri Sipil (PNS)
diperlakukan sebagai buruh berganti menjadi asset dan pada gilirannya PNS akan
diposisikan sebagai human capital. Hal ini merupakan langkah maju dari
penerapan “The New Public management”.
Ada 2 hal yang
perlu disoroti pada UU No 5/2014 ini : pertama, adalah penamaan jabatan yang
baru yakni jabatan administrasi, jabatan fungsional dan jabatan pimpinan
tinggi, yang pada UU pokok kepegawaian terdahulu hanya dikenal jabatan
structural dan fungsional. Eselonisasi PNS
dalam jabatan structural yang rumit dihapus dengan ketentuan hanya ada 3
jenjang jabatan administrasi:
administrator (setara dg eselon III) , pengawas (setara dg eselon IV)
dan pelaksana (setara eselon V).Jabatan pimpinan Tinggi (JPT) terdiri dari JPT
utama (setara dg Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian), JPT Madya ( setara
dg eselon Ia dan Ib) JPT Pratama (setara dg eselon II).
Kedua,
mengenai Nilai dasar, kode etik dan perilaku yang dijelaskan pada pasal 1 angka
(5) UU No 5/2014 disebutkan bahwa
Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang
profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dan ditekankan
kembali pada pasal 3 dan 4. Hal ini menandakan begitu pentingnya penekanan soal
moral pada aparatur sipil Negara.
Beberapa hal di atas menunjukkan bahwa
persoalan-persoalan moral pejabat public sudah demikian serius ditangani dan mengalami pergeseran
tidak hanya berkisar pada materi korupsi dan penegakan hukum
(pidana) tetapi juga
menyoroti persoalan etis (moral) pejabat
publik. Ada wacana mendampingkan hukum dengan moralitas. Dua
asas yang disandingkan antara presumption
of innocence (praduga tdk berdosa) dengan presumption of not guilty (praduga tidak bersalah). Hukum hanya
menghasilkan kesadaran heteronomy, kesadaran lahiriah. Sedangkan moralitas
mampu melahirkan kesadaran otonomi atau kesadaran batiniah. Penekanan moralitas
pada aparatur sipil Negara sebagai tindakan internalisasi dan tindakan preemptif dalam pencegahan korupsi. Dari
ASN yang taat hukum ke arah ASN yang taat hati nurani.
Etika Pejabat Publik
Akhir-akhir ini muncul polemik yang berkenaan
dengan problem etis pejabat publik, misalnya apakah “boleh” atau ‘tidak boleh”
pejabat publik menggunakan fasilitas yang diterimanya (sebagai konsekuensi jabatan yang
diembannya)
untuk kepentingan
pribadi. Sebagai salah satu contoh misalnya, apakah “boleh” pejabat menggunakan
mobil inventaris kantor untuk mudik lebaran.
Perdebatan tersebut menghasilkan “pro”
dan “kontra”.
Bagi yang “pro”
menyatakan “boleh” karena tidak bertentangan dengan hukum atau tidak ada hukum
yang mengaturnya. Sedangkan yang “tidak setuju” menyatakan bahwa menggunakan
fasilitas negara untuk kepentingan pribadi jelas tidak etis, tidak memberi suri
teladan kepada masyarakat. Pandangan dua pihak ini bisa dibenarkan karena
kedua-duanya mempunyai argumentasi rasional.
Justru persoalannya adalah bahwa untuk
membangun profesionalisme pejabat publik dan menuju birokrasi yang bersih dan
berwibawa bukan hanya diperlukan pendekatan hukum tetapi memerlukan pendekatan
etis yang dituangkan dalam suatu kode etik (code of conduct) yang dilegalkan
dalam suatu legislasi dari pihak berwenang, hukum belum cukup kuat dalam
menegakkan perilaku etis pejabat negara karena masih ada perilaku yang belum
diatur oleh hukum dan celah ini bisa dimasuki oleh etika/kode etik. Tuntutan
kepada perilaku pejabat publik tidak hanya taat hukum tetapi juga harus
menjunjing tinggi moralitas.
Mengapa demikian? Karena pejabat
publik sebagai tiang dari perilaku birokrasi, perilakunya sudah seharusnya
bukan hanya mengacu pada boleh atau tidak boleh, tetapi mesti ke arah pada
keutamaan perilaku atau keteladan atau keutamaan. Kalau perilaku pejabat publik hanya
bertumpu pada baik buruk, bukan pada keutamaan, lantas apa bedanya dengan
masyarakat biasa.. Maka problem ETIKA KEUTAMAAN pejabat publik merupakan problem
etis ini yang perlu dipecahkan. Pejabat publik tidak hanya dituntut pada taat
hukum, tetapi pada persoalan kepantasan. Artinya bahwa perilaku pejabat publik
harus taat hukum sekaligus harus bertindak patut atau pantas, karena pejabat
publik dituntut untuk mengakkan kewibawaan pemerintah/birokrasi.
Apa yang dikatakan oleh Prof Muhammad
Ryaas Rasyid dalam buku MAKNA PEMERINTAHAN, bahwa melalui penghayatan etis yang
baik seseorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya
sebagai teladan tentang kebaikan moralitas pemerintahan. Aparatur yang baik dan
bermoral tinggi akan senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela,
karena ia terpanggil untuk menjaga kewibawaan negara/birokrasi.
Pejabat publik yang mempunyai
kekuasaan/kewenangan cenderung akan menyelewengkan kekuasaan yang dipegangnya
karena kekuasaan cenderung menyeleweng.Oleh karena itu kekuasaan pemerintahan
hanya mungkin dijinakkan melalui penegakan hukum dan etika. Dengan kata lain,
Pemerintahan yang bersih dari suatu negara hukum hanya bisa ditegakkan dengan
menegakkan komitmen hukum dan komitmen moral/etis . Apabaila problem hukum dan
etis sudah mampu diatasi oleh birokrasi kita, maka Tiga fungsi pokok
pemerintahan yakni pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan akan dapat
ditunaikan dengan baik.
Etika dalam kacamata kode etik secara
umum diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dari segi filsafat
etika, problem penegakan hukum hanya berkisar pada persoalan etika deontologis
atau wajib atau tidak wajib, atau boleh tidak boleh, bukan pada persoalan
pantas atau tidak pantas. Etika kewajiban hanya bertumpu pada “doing” atau
“what should I do”, Sedangkan etika keutamaan bertumpu pada “being” atau “what
kind person of shoul I be”. Pada etika kewajiban manusia dituntut menjadi baik
menurut aturan tertentu, sedangkan pada etika keutamaan , manusia dituntut
menjadi manusia mulai/manusia utama/manusia paripurna. Keduanya saling melengkapi,
etika deontologis memerlukan etika keutamaan dalam penerapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar