Kategori

Rabu, 21 Mei 2014

REFORMASI KEPEGAWAIAN DAN ETIKA PEJABAT PUBLIK


Reformasi Kepegawaian  memasuki taraf perubahan signifikan dengan ditetapkan UU No. 5 /2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memperbarui UU Pokok Kepegawaian Nomor  43/1999. Istilah kepegawaian diganti dengan Aparatur Sipil Negara bukan tanpa maksud. Sebelumnya  Pegawai Negeri Sipil (PNS) diperlakukan sebagai buruh berganti menjadi asset dan pada gilirannya PNS akan diposisikan sebagai human capital. Hal ini merupakan langkah maju dari penerapan “The New Public management”. 

Ada 2   hal yang perlu disoroti  pada UU No 5/2014 ini : pertama, adalah penamaan jabatan yang baru yakni jabatan administrasi, jabatan fungsional dan jabatan pimpinan tinggi, yang pada UU pokok kepegawaian terdahulu hanya dikenal jabatan structural dan fungsional. Eselonisasi PNS  dalam jabatan structural yang rumit dihapus dengan ketentuan hanya ada 3 jenjang jabatan administrasi:  administrator (setara dg eselon III) , pengawas (setara dg eselon IV) dan pelaksana (setara eselon V).Jabatan pimpinan Tinggi (JPT) terdiri dari JPT utama (setara dg Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian), JPT Madya ( setara dg eselon Ia dan Ib) JPT Pratama (setara dg eselon II). 
Kedua, mengenai Nilai dasar, kode etik dan perilaku yang dijelaskan pada pasal 1 angka (5)  UU No 5/2014 disebutkan bahwa Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dan ditekankan kembali pada pasal 3 dan 4. Hal ini menandakan begitu pentingnya penekanan soal moral  pada aparatur sipil Negara.

Beberapa hal di atas menunjukkan bahwa persoalan-persoalan moral pejabat public sudah demikian serius ditangani dan mengalami pergeseran tidak hanya berkisar pada materi korupsi dan penegakan hukum (pidana) tetapi juga menyoroti persoalan etis (moral) pejabat publik. Ada wacana mendampingkan hukum dengan moralitas. Dua asas yang disandingkan antara presumption of innocence (praduga tdk berdosa) dengan presumption of not guilty (praduga tidak bersalah). Hukum hanya menghasilkan kesadaran heteronomy, kesadaran lahiriah. Sedangkan moralitas mampu melahirkan kesadaran otonomi atau kesadaran batiniah. Penekanan moralitas pada aparatur sipil Negara sebagai tindakan internalisasi dan tindakan preemptif dalam pencegahan korupsi. Dari ASN yang taat hukum ke arah ASN yang taat hati nurani.


Etika Pejabat Publik
Akhir-akhir ini muncul polemik yang berkenaan dengan problem etis pejabat publik, misalnya apakah “boleh” atau ‘tidak boleh” pejabat publik menggunakan fasilitas yang diterimanya (sebagai konsekuensi jabatan yang diembannya) untuk kepentingan pribadi. Sebagai salah satu contoh misalnya, apakah “boleh” pejabat menggunakan mobil inventaris kantor untuk mudik lebaran.
Perdebatan tersebut menghasilkan “pro” dan “kontra”. Bagi yang “pro” menyatakan “boleh” karena tidak bertentangan dengan hukum atau tidak ada hukum yang mengaturnya. Sedangkan yang “tidak setuju” menyatakan bahwa menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi jelas tidak etis, tidak memberi suri teladan kepada masyarakat. Pandangan dua pihak ini bisa dibenarkan karena kedua-duanya mempunyai argumentasi rasional.
Justru persoalannya adalah bahwa untuk membangun profesionalisme pejabat publik dan menuju birokrasi yang bersih dan berwibawa bukan hanya diperlukan pendekatan hukum tetapi memerlukan pendekatan etis yang dituangkan dalam suatu kode etik (code of conduct) yang dilegalkan dalam suatu legislasi dari pihak berwenang, hukum belum cukup kuat dalam menegakkan perilaku etis pejabat negara karena masih ada perilaku yang belum diatur oleh hukum dan celah ini bisa dimasuki oleh etika/kode etik. Tuntutan kepada perilaku pejabat publik tidak hanya taat hukum tetapi juga harus menjunjing tinggi moralitas.

Mengapa demikian? Karena pejabat publik sebagai tiang dari perilaku birokrasi, perilakunya sudah seharusnya bukan hanya mengacu pada boleh atau tidak boleh, tetapi mesti ke arah pada keutamaan perilaku atau keteladan atau keutamaan. Kalau perilaku pejabat publik hanya bertumpu pada baik buruk, bukan pada keutamaan, lantas apa bedanya dengan masyarakat biasa.. Maka problem ETIKA KEUTAMAAN pejabat publik merupakan problem etis ini yang perlu dipecahkan. Pejabat publik tidak hanya dituntut pada taat hukum, tetapi pada persoalan kepantasan. Artinya bahwa perilaku pejabat publik harus taat hukum sekaligus harus bertindak patut atau pantas, karena pejabat publik dituntut untuk mengakkan kewibawaan pemerintah/birokrasi.

Apa yang dikatakan oleh Prof Muhammad Ryaas Rasyid dalam buku MAKNA PEMERINTAHAN, bahwa melalui penghayatan etis yang baik seseorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan moralitas pemerintahan. Aparatur yang baik dan bermoral tinggi akan senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga kewibawaan negara/birokrasi.

Pejabat publik yang mempunyai kekuasaan/kewenangan cenderung akan menyelewengkan kekuasaan yang dipegangnya karena kekuasaan cenderung menyeleweng.Oleh karena itu kekuasaan pemerintahan hanya mungkin dijinakkan melalui penegakan hukum dan etika. Dengan kata lain, Pemerintahan yang bersih dari suatu negara hukum hanya bisa ditegakkan dengan menegakkan komitmen hukum dan komitmen moral/etis . Apabaila problem hukum dan etis sudah mampu diatasi oleh birokrasi kita, maka Tiga fungsi pokok pemerintahan yakni pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan akan dapat ditunaikan dengan baik.

Etika dalam kacamata kode etik secara umum diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dari segi filsafat etika, problem penegakan hukum hanya berkisar pada persoalan etika deontologis atau wajib atau tidak wajib, atau boleh tidak boleh, bukan pada persoalan pantas atau tidak pantas. Etika kewajiban hanya bertumpu pada “doing” atau “what should I do”, Sedangkan etika keutamaan bertumpu pada “being” atau “what kind person of shoul I be”. Pada etika kewajiban manusia dituntut menjadi baik menurut aturan tertentu, sedangkan pada etika keutamaan , manusia dituntut menjadi manusia mulai/manusia utama/manusia paripurna. Keduanya saling melengkapi, etika deontologis memerlukan etika keutamaan dalam penerapannya.

·  Penulis adalah alumni UI pemerhati birokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar