Filsafat Instrumentalisme John Dewey
Sebetulnya, teori interaksionis simbolik ini berakar pada filsafat pragmatisme atau instrumentalisme John Dewey. Filsafat
instrumentalisme berlandaskan pada suatu teori pengenalan yang tidak memahami
pikiran manusia sebagai fotocopy atau
pencerminan dunia luar, melainkan sebagai hasil aktifitas manusia sendiri.
Manusia terlibat aktif dalam proses pengenalan. Ia menghadapkan kesadarannya
pada hal-hal yang diluar. Apa arti mereka, bagaimana memahami mereka, apa yang harus dibuat sehubungan mereka?.
Dalam proses aktif ini pikiran manusia tdk hanya berperan sebagai “instrument”
atau sarana untuk bertindak, tetapi menjadi bagian dari sikap kelakuan manusia.
Citra manusia dibangun sebagai makhluk aktif dan dinamis – manuaisa mampu
menetukan sikapnya atas situasi tertentu,
bukan hanya pasif yang tergantung pada situasi.
Filsafat intrumentalisme
John dewey kemudian “diterjemahkan” oleh
ahli psikologi social George Herbert Mead (guru besar Univ. Chicago) dalam buku
“Mind, self and society (1934).
Pikiran (mind) manusia mengartikan dan menafsirkan benda-benda dan
kejadian-kejadian yang dialami, menerangkan asal muasal dan meramalkan kejadian
itu. Self (diri) atau “me” adalah
mempunyai status, ciri-ciri, peran yang diemban yang “dinamai” oleh
masyarakatnya. Mind dan elf berasal dari masyarakat sebagai hasil proses-proses
interaksi. Berpikir adalah interaksi diri dengan orang lain. Berpikir adalah
hasil dari proses internalisasi diri dengan orang lain.
Konsep peran menjadi titik sentral dalam kajian
ini. Misalnya, sebelum bertindak sebagai seorang politikus maka orang tersebut
harus mengambil peran itu dari orang lain. Pola kelakuan dan komunikasinya
harus disesuaikan dengan peran sebagai politikus. Orang menjadi “orang lain
pada umumnya” (bayangkan kalau anda di panggung memerankan sebagai seorang
anggota DPR misalnya.) sementara kita
sehari-hari bukan anggota DPR.
Interaksional simbolik Herbert Blumer
Dan Blumer dalam buku
“Symbolic Interactionism: perspective and method (1969) kemudian
“diterjemahkan” lagi oleh Erving Goffman dlm buku The Presentation of self in everyday life (1956) dengan me “metaphor” kan performance
seseorang dalam kehidupan social dengan Drama dan panggung, yang kemudian
teorinya disebut teori dramaturgis.
Dalam memahami teori interaksionis simbolik
dengan teori-teori turunannya adalah bahwa cara manusia mengartikan dunia dan
diri sendiri berhubungan erat dengan masyarakatnya.
Asumsi-asumsi
Interaksi simbolik dari Blumer :
- Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka.Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi social dalam masyarakat manusia.
- Makna-makna dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dangan tanda-tanda yang dihadapinya.
1. Konsep Blumer : Konsep diri, perbuatan, obyek, interaksi social, joint action.
- Diri
Manusia sadar akan
dirinya. Ia mengarahkan interaksi dg orang lain dan pada obyek-obyek tertentu,
untuk mengenal dirinya yang kemudian diri melakukan proses penafsiran terhadap
situasi..
- Perbuatan
Perbuatan (tindakan)
manusia terbentuk dari interaksi diri dg org lain.Perbuatan manusia merupakan
konstruksi dirinya.
- Obyek
Obyek dpt berupa
benda fisik, maupun konsep-konsep konkrit dan abstrak yang bukan benda. Obyek
ditentukan oleh minat dan arti yang dikenakan seseorang thd obyek itu (bukan
cirri-ciri intrinsic benda tsb)
- Interaksi social
Interaksi berarti
bahwa peran peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke
dalam posisi orang lain (ke posisi lain). Interaksi berupa gerak-gerak dan
komunikasi melalui symbol-simbol yang perlu difahami dan dimengerti artinya.
Dalam interaksi simbolik orang , orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak
otang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu.
- Joint Action
Adalah aksi kolektif yang
lahir di mana perbuatan masing-masing peserta dicocokkan dan diserasikan satu
sama lain. Misalnya, dalam upacara
perkawinan, makan bersama keluarga, diskusi, rapat dll.Jadi, aksi individu
dalam kelompok disesuaikan dan melebur dalam aksi-aksi dan norma-norma kolektif.
- Pikiran
Pikiran
manusia mengartikan dan menafsirkan benda-benda dan kejadian yang dialami,
menerangkan asal muasal dan meramalkan mereka. Pikiran manusia menerobosi dunia
di luar dan seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya. Ia menerobosi
diri sendiri juga dan membuat hidupnya sendiri menjadi obyek pengenalannya,yang
disebut “aku” atau “diri“ (self).
- Diri
Konsep
“aku” (I) menjelma menjadi “diri” (me). “Diri saya” dikenal olehnya mempunyai
ciri-ciri dan status tertentu. Manusia yang ditanyai “ siapakah dia?” akan
menjawab, bahwa ia mempunyai nama, bahwa ia orang laki-laki,suami,warga Negara,
beragama, polisi, anggota partai politik, dan seterusnya.
Cara manusia mengartikan dunia dan diri sendiri
berhubungan erat dengan masyarakatnya. Sama seperti Dewey yang menggarisbawahi
kesatuan antara berpikir dengan berinteraksi. Mead juga melihat pikiran ( mind
) dan kedirian menjadi bagian perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya
dengan orang-orang lain. Interaksi itu membuat dia mengenal dunia dan diri
sendiri. Dengan memakai kata-kata judul buku karangan Mead, yaitu Mind, Self,
and society (1934 ), kita harus mengatakan, bahwa mind, dan self berasal dari
society atau dari proses-proses interaksi.
- Interaksi
Berpikir
adalah interaksi oleh “ diri “ orang yang bersangkutan dengan orang lain. Tidak
ada pikiran yang timbul lepas-bebas dari suatu situasi social. “ Diri saya “
mengatur di dalam kepala reaksi-reaksi atau gerak orang lain dengan sedemikian
rupa, sehingga reaksi-reaksi itu bercocokan dan berserasian dengan gerak yang
ditujukan kepada “saya”. Maka “berpikir” dapat dimengerti sebagai hasil
pembatinan proses interaksi dengan orang lain. Dalam menafsirkan benda,
kejadian, dan gerak orang, penafsiran oleh masyarakat atau kelompok yang telah
saya batinkan, memainkan peranan penting. Misalnya, saya telah belajar bahwa
“mengangguk” berarti ya dan “menggeleng-gelengkan” kepala berarti tidak. Dalam
pandangan Goffman interaksi adalah tatap
muka dan bersifat co-presence.
- Performance
Dalam
pandangan Goffman, dunia social di metaporkan dengan panggung suatu drama,
suatu istilah yang diaplikasikannya pada diri sendiri. Peran-poeran yang
diharapkan orang lain tentang tingkah laku kita dalam situsi khusus,
seolah-olah kita tengah memerankan sebuah naskah drama, dan memperrlihatkan bagaimana kita bertindak, cara kita mengatur penampilan
(performance) kita. Performance ini istilah khas dari Goffman. Dimana
dunia performance terdiri dari 2 yaitu panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan merupakan bagian performa individu yang secara teratur berfungsi
dalam aturan umum dan tetap untuk dapat didefinisikan oleh mereka yang
menyaksikannya. Di panggung depan initerdapat pengaturan (setting ), misalnya
berupa dekorasi, furniture, tata letak fisik dan latar belakang “panggung’ yang
diperlukan. Setting ini cenderung bersifat geografis, dalam arti bahwa seorang
actor tidak dapat memainkan pertunjukan
jiaka belum didukung oleh situasi tempatnya. Selain itu terdapat personal
front, berupa pakaian, jenis kelamin, usia, suku, ukuran dan bentuk tubuh,
ekspresi muka, gerakan tubuh, dan sebagainya, yang diperlukan actor untuk
melengkapi setting yang bersifat individual.
Panggung
belakang merupakan tempat atau peristiwa yang memungkinkan ia mempersiapkan
perannya di wilayah depan. Jika panggung depan yang akan ditonton khalayak,
Maka panggung belakang adalah tempat para pemain mempersiapkan diri, bersantai,
atau berlatih untuk memainkan peran mereka di panggung depan.
- Dramaturgis
Interaksionis
simbolik dirumuskan Erving Goffman dalam buku The Presentation of self in everyday life (1956) yang didasarkan
pada prinsip metaphor dramaturgis.
Hidup adalah sebuah pementasan drama yang dikemas sebaik mungkin sebagai upaya
mengontrol kesan yang timbul atas diri orang lain dan bagaimana mengontrol
perilaku yang tepat bagi dirinya di atas panggung hidup ini. Subyek pelaku yang
bagi Parson lebih bersifat responsive atas “peran yang terbatin dalam dirinya (inhabiting an internalized role ), bagi
Goffman subyek pelaku bertindak aktif (performing
a role ) atau ada role distance.
Pelaku menciptakan makna atas situasi yang terbaik bagi masing-masing pihak. Ia
harus menampilkan pertunjukan yang dapat
diterima dari apa yang memang seharusnya dikerjakan. Intinya, harus
ada keselarasan antara subyek pelaku yang nampak, alat-alat, dan penampilan
panggung. Maka dibutuhkan self
confidence, kecermatan menghitung segala kemungkinan bahkan yang terburuk sekalipun. Orang berusaha agar
dikenal dari apa yang mereka kerjakan dengan sempurna sehingga makin hari makin
terampil dan menguasai perannya.
Bahaya
dari tindakan social yang menekankan prinsip metaphor dramaturgis ini adalah
orang memakai topeng untuk
mengontrol orang lain. Seolah-olah orang berada di luar budaya dan
memanipulasinya, dan bukannya membatinkan budaya serta menjadikan kekuatan dari
dalam untuk bertindak.
Kita
ambil contoh pada politisi kita yang anggota DPR. Mereka menampakkan
diri/memerankan diri di panggung depan via media Tv misalnya, seolah-olah
sebagai wakil rakyat yang menyalurkan aspirasi rakyat. Dengan acting, mimic
muka, gesture dan gayanya masing-masing “memerankan” fungsi “seharusnya”.
Padahal itu semua hanyalah kemasan, topeng, Cuma di atas panggung yang dilihat
penonton (pemirsa). Padahal di panggung belakang, para wakil rakyat ini
mempertontonkan kemewahan, mengurus dirinya sendiri dan partai, hidup
berfoya-foya dengan penuh “entertain””, koruptif dll nya. Maka bahaya teori
dramaturgis ini dalam melihat situasi social hanya dengan melihat “role”
seseorang akan menjebak kita. Seolah-olah itu realitas. Kehidupan social
tertentu hanya direpresentasikan oleh actor, dan mengabaikan struktur.
Definisi-definisi situasi terlampau dibesarkan-besarkan. Dalam setiap situasi
ada pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada semua actor interaksi yaitu
struktur. Pembatasan-pembatasan structural ini
nampaknya lebih relevan dalam menerangkan banyak kejadian drpd cara
orang bertindak atau mendefinisikan situasinya. Pembatasan-pembatasan
structural ini memagari ruang gerak bagi bersangkutan.
Perbedaan Panggung Depan dan Panggung Belakang
PANGGUNG
DEPAN: adalah peran-peran “seharusnya” yang
diharapkan oleh masyarakat dalam situasi tertentu. Peran-peran, aksi-aksi,
bahasa yang digunakan, gaya bicara, tata letak, pakaian, dekorasi, peosedur,
kalimat yang digunakan mengikuti atndard/norma umum. (wilayah ‘seharusnya’, das
sollen)
PANGGUNG
BELAKANG : peran-peran yang
dimainkan untuk tujuan tertentu (wilayah “apa adanya”, “das sein”) . Wilayah
ini wilayah “mempersiapokan’ untuk tampil pada panggung depan. Justru sering
kebenaran asli itu terletak pada panggung belakang ini.
Dari
kedua hal ini, jelas ada perbedaan pola
komunikasi dalam wilayah Panggung belakang dan panggung depan.
PANGUNG
DEPAN
|
PANGGUNG
BELAKANG
|
|
Wilayah
|
Publik
|
Privat
|
Setting
|
Formal
|
Informal
|
Bahasa
|
Performatif, baku, dipublikasikan
|
Sehar-hari, disembunyikan
|
Gaya bahasa
|
Standar umum sesuai peran
|
Apa adanya sesuai tujuan
|
Penampilan
|
Resmi, norma umum
|
Tdk resmi, norma kelompok.
|
Suasana
|
Kaku, formal
|
Cair, negotiable.
|
Citra
|
Citra sosial
|
Citra diri
|
Dekorasi
|
Mengikuti protokoler resmi
|
Apa adanya, sesuai dengan tempat yang
dipilih
|
Sarana
|
Idem
|
Idem
|
Pakaian
|
Resmi, formal
|
Casual, sehari-hari
|
Prosedur
|
Tertib dan normatif
|
Tergantung situasi
|
Tata letak
|
Resmi dan formal
|
Tergantung situasi
|
Dll
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar