Kategori

Selasa, 10 Juni 2014

LINGKUNGAN SOSIAL MEDIA



PENGANTAR


Media tidak berdiri pada ruang kosong. Ia berdiri di atas ‘kepentingan-kepentingan’ baik jangka pendek maupun jangka panjang, baik  kepentingan politik, ekonomi, budaya, teknologi, maupun redaksional. Membicarakan media sebagai sesuatu yang kompleks, media sebagai institusi tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan itu. Dengan demikian “obyektifitas” media menjadi polemik. Polemologi adalah keniscayaan pada saat kita membicarakan lingkungan social  media, yang tentu saja terjadi interaksi antara media, Negara, dan masyarakat. Dari perspektif politik, media menjadi elemen penting dalam proses demokratisasi dengan menyediakan sarana dan saluran debat public, menjadikan calon pemimpin politik dikenal luas masyarakat serta berperan menyebarkan berbagai informasi dan opini. Dari perspektif budaya, media massa telah menjadi acuan utama untuk menentukan definisi-definisi terhadap suatu hal dan gambaran realitas social. dalam bidang ekonomi, pertumbuhan industrri dan diversikasi  media berjalan paralel dengan pertumbuhan ekonomi.
Istilah “we can not not communication” merupakan suatu landasan dikembangankannya berbagai macam media untuk berkomunikasi serta salah satu faktor yang menginsirasi para inovator dan kreator untuk menciptakan media-media komunikasi hingga perkembangannya yang pesat tidak dapat dihindari dan karena itulah muncul revolusi besar di bidang komunikasi. Perkembangan di duniakomunikasi itu sendiri juga diawali dengan metamorposis media (mediamorphosis).
Secara umum, media mempunyai banyak peran dalam tatarannya sebagai suatu alat sosialisasi. Diantaranya seperti, jendela, juru bahasa, pengantar atau pembawa informasi, jaringan interaktif yang menghubungkan pengirim dan penerima pesan, papan penunjuk jalan, penyaring untuk memilih, cermin yang memantulkan citra masyarakat itu sendiri dan tirani atau penutup.
Dapat dikatakan juga bahwa sosialisasi antar individu dengan komunitasnya hingga membentuk suatu kelompok masyarakat dilakukan dengan interaksi intens satu sama lain terlepas dari apapun medianya. Kegiatan komunikasi dan medianya memang merupakan dua hal yang secara beriringan berjalan dan saling menyeimbangkan.
Interaksi kini tidak lagi dilakukan hanya dengan tatap muka secara langsung, namun berbagai media komunikasi dengan kecanggihannya masing-masing dapat digunakan dengan tidak menghilangkan atmosfer keberadaan. Dengan kata lain, masyarakat dan komunikasi serta dengan berbagai macam media yang digunakannya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebab dari situlah muncul sebuah peradaban.

APA ITU MEDIA DAN LINGKUNGAN SOSIAL MEDIA


Media yang dimaksud disini adalah media komunikasi massa  (pers, radio, TV,Film, dll). istilah komunikasi massa dikenal pertama kali pada akhir 1930 an. Gerbner (1967) mendefinisikan komunikasi sebagai “interaksi social melalui pesan”, atau mengacu pada pemberian dan penerimaan arti, pengiriman dan penerimaan pesan. Sedangkan istilah “massa” menggambarkan sesuatu dalam jumlah besar.Janowitz (1960) mendefinisikan komunikasi massa terdiri atas lembaga dan teknik di mana kelompok2 terlatih menggunakan teknologi untuk menyebarluaskan symbol-simbol kepada audien yang tersebar luas dan heterogen. proses komunikasi massa tidaklah sama dengan media massa. Media massa menunjuk pada organisasi yang memiliki teknologi yang memungkinkan terjadinya komunikasi massa.
Studi terhadap media massa dapat dilakukan melalui dua pendeketan, yaitu media sentrik dan sosio-sentrik. Pendekatan media-sentrik lebih banyak menekankan pada aspek otonomi dan pengaruh media dalam komunikasi serta lebih berkosentrasi pada aktifitas media dalam lingkungan. Pendekatan sosio-sentrik memandang media sebagai refleksi dari kekuatan ekonomi dan politik. Dengan demikian, teori mengenai media menjadi sedikit lebih luas dari hanya sekedar penerapan khusus dari teori sosial yang lebih luas (Golding dan Murdock,1978 ). Teori media-sentrik melihat media massa sebagai penggerak utama dalam perubahan sosial yang didorong atau disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi. Terlepas dari benar atau tidaknya bahwa masyarakat digerakkan oleh media, namun satu hal yang pasti teori komunikasi massa sendiri sangat dinamis karena cenderung menjawab setiap perubahan utama dalam perkembangan tekhnologi dan struktur.
Media massa sendiri dalam masyarakat mempunyai beberapa fungsi sosial, yaitu fungsi pengawasan sosial, fungsi interpretasi, fungsi transmisi nilai dan fungsi hiburan.
  1. Fungsi pengawasan media adalah fungsi yang khusus menyediakan informasi dan peringatan kepada masyarakat tentang apa saja di lingkungan mereka. Media massa meng-up date pengetahuan dan pemahaman manusia tentang lingkungan sekitarnya.
  2. Fungsi interpretasi adalah fungsi media yang menjadi sarana memproses, menginterpretasikan dan mengkorelasikan seluruh pengetahuan atau hal yang diketahui oleh manusia.
  3. Fungsi transmisi nilai adalah fungsi media untuk menyebarkan nilai, ide dari generasi satu ke generasi yang lain.
  4. Fungsi hiburan adalah fungsi media untuk menghibur manusia. Manusia cenderung untuk melihat dan memahami peristiwa atau pengalaman manusia sebagai sebuah hiburan.
Dalam perkembangan selanjutnya, media massa mempunyai fungsi-fungsi baru, yaitu membentuk komunitas dan komunikasi virtual, seperti halnya kelompok internet di dunia maya. Internet dapat dipahami sebagai alat atau media umum yang bisa secara komplet memenuhi fungsi media massa “tua”. Internet bisa menyempurnakan transaksi komersial, menyediakan dukungan sosial dan mengirim jasa pemerintahan. 

Lingkungan social media merupakan suatu entitas politik, budaya (khususnya teknologi), ekonomi yang berpengaruh terhadap corak dan dinamika media, artinya terjadi interaksi secara intens ketiga factor di atas dengan media dan terjadi simbiosa. Dalam paper ini lingkungan social media akan dibahas dari sisi ekonomi, politik, dan intelektual (sesuai dengan kisi-kisi pada GBPP).

LINGKUNGAN EKONOMI DAN MEDIA

Perkembangan media massa modern menempatkan media tidak lagi dipahami dalam konteks sebagai  institusi sosial dan politik belaka melainkan juga harus dilihat dalam konteks institusi ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa media telah tumbuh bukan saja sebagai alat sosial, politik dan budaya tapi juga sebagai perusahaan yang menekankan keuntungan ekonomi. Institusi media harus dinilai sebagai dari system ekonomi yang juga bertalian erat dengan system politik. Inilah yang dimaksudkan bahwa media mempunyai dwi karakter yang tak terpisahkan: karakter sosial-budaya-politik dan karakter ekonomi. Faktor ekonomi rupanya menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi seluruh perilaku media massa modern. Faktor pasar bebas dalam seluruh proses komunikasi massa memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam membentuk faktor persaingan dan tuntutan ekonomi menjadi pertimbangan bagaimana media massa kontemporer dibentuk dan dikelola.

Kita tidak bisa memahami industry media tanpa memahami kekuatan yang mempengaruhi media terlebih dahulu. Bagian-bagian dari sebuah institusi media tidak pernah bekerja di luar konteks social yang luas, termasuk konteks ekonomi.

Ekonomi media mempelajari bagaimana industrI media memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk memproduksi konten dan mendistribusikannya kepada khalayak dengan tujuan memenuhi beragam permintaan dan kebutuhan akan informasi dan hiburan.

Media massa selain menjadi representasi ruang public yang penuh dengan dinamika social, politik dan budaya juga menjadi kekuatan ekonomi yang mampu menghasilkan surplus. Media menjadi medium iklan utama dan karenanya menjadi penghubung dan konsumsi, antara produsen barang dan jasa dengan masyarakat.

Dalam melakukan kajian terhadap media massa sebagai industri, kita dapat melakukan kajian berdasarkan teori ekonomi politik media. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Granham, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar pelbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pesan, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan (dalam McQuail, 1991:63).

Pembicaraan mengenai sistem ekonomi selalu akan terkait dengan masalah kapital atau modal dari para pemilik media. Karl Marx menyatakan bahwa kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumberdaya produksi vital yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal. Mengenai kaitan kapitalisme dan media massa, dikatakan oleh Stuart Hall bahwa media massa merupakan sarana paling penting dari kapitalisme abad 20 untuk memelihara hegemoni ideologis. Media massa juga menyediakan kerangka berpikir bagi berkembangnya budaya massa lewat usaha kelompok dominan yang terus menerus berusaha mempertahankan, melembagakan, melestarikan kepenguasaan demi menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasai (dalam Bungin, 2001).

LINGKUNGAN INTELEKTUAL MEDIA

A. Libertarianisme

Fungsi-fungsi Libertarian
Menurut F.S. Siebert dalam Four Theories of the Press, media massa dalam teori libertarian murni memiliki dua fungsi utama, yakni sebagai sumber informasi dan hiburan.  Selanjutnya muncul fungsi ketiga, yakni sebagai wahana iklan atau instrumen pemasaran.  Fungsi ketiga ini menguat seiring dengan meningkatnya tuntutan pers untuk mandiri secara finansial.
Pada dasarnya, tujuan keberadaan media adalah untuk membantu penemuan kebenaran, membantu pengembangan dan pergulatan aneka pendapat dan gagasan sampai muncul yang terbaik, serta membantu perlindungan kebebasan sipil dengan turut mengontrol pemerintah.  Singkatnya, teori libertarian melihat sekurang-kurangnya ada enam fungsi sosial yang dijalankan media, yakni : pencerdasan publik, pendukung sistem ekonomi, pendukung sistem politik, penjaga kebebasan sipil, pencetak laba, dan sumber hiburan.  Tentu tidak ada satu perusahaan media tunggal yang bisa menjalankan semua fungsi itu sekaligus.  Fungsi-fungsi di atas melekat pada institusi media secara keseluruhan.  Dari uraian ini kita bisa memperoleh gambaran tentang seperti apa dan apa yang seharusnya dilakukan media menurut teori libertarian.
Para teorisi libertarian pada umumnya menyatakan pencerdasan publik sebagai fungsi utama media.  Fungsi kedua pers, yakni mendukung sistem politik.  Pemerintahan demokratis memberikan tanggung jawab yang besar kepada warganya dan pers.  Fungsi ketiga pers, yakni menjaga kebebasan sipil.  Aliran libertarian berkeyakinan ketika setiap orang mengejar kepentingannya sendiri dengan caranya sendiri, maka masyarakat akan menjadi sejahtera.  Fungsi keempat pers, yakni sebagai pencetak laba.
Dalam mengaitkan otonomi pers dan pencetakan laba, kaum libertarian meminjam saja konsep “mekanisme tangan tak tampak” pasar yang dirumuskan oleh Adam Smith.  Menurut konsepsi ini, tiap individu yang bekerja keras di pasar untuk kepentingannya sendiri sesungguhnya dalam waktu bersamaan juga telah menyumbang bagi kemakmuran semua pihak. 
Dengan mengejar kepentingannya sendiri yakni laba, media secara sengaja atau tidak sengaja berusaha untuk melayani kebutuhan masyarakat akan informasi dengan sebaik mungkin.

B. Lingkungan Intelektual Media : Teori Tanggung Jawab Sosial

Teori ini muncul sebagai reaksi teori pers libertarian yang dinilai terlalu mementingkan kebebasan dan juga pemikiran libertarian umumnya tentang hakikat manusia dan masyarakat.

1.  Definisi Baru Kebebasan Pers, Istilah yang beredar dewasa ini adalah hak publik untuk tahu dan tanggung jawab pers.  Ini mengisyaratkan pergeseran teoritis atas konsepsi kebebasan pers, yakni dari yang semula bertumpu pada individu ke masyarakat.  Kebebasan pers yang semua dianggap sebagai kebenaran universal, kini hanya diartikan sebagai akses publik, atau hak masyarakat untuk tahu.
2.  Kode Etik Profesi, Pada tahun 1923, American Society of Newspape Editors, sebuah organisasi nasional, memberlakukan Kode Etik Jurnalisme yang mewajibkan semua koran senantiasa memperhatikan kesejahteraan umum, kejujuran, ketulusan, ketidak-berpihakkan, kesopanan dan penghormatan terhadap privasi individu.
3.  Komisi Kebebasan Pers, Komisi menyatakan lima syarat yang dituntut masyarakat modern dari pers.  Adanya syarat-syarat ini memunculkan suatu konsepsi baru tentang seperti apa media itu seharusnya, dan hal-hal apa saja yang seharusnya dikerjakan pers. 
4.  Kebenaran dan Makna dalam Berita, Syarat pertama adalah media harus menyajikan “pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas”.  Media dituntut untuk selalu akurat dan tidak boleh berbohong.
5.  Penyebar Gagasan, Syarat kedua yang diajukan komisi adalah media harus berperan sebagai forum pertukran pendapat, komentar dan kritik.  Artinya, media harus berfungsi sebagai penyebar gagasan, yakni menyodorkan suatu masalah kepada khalayak untuk dibahas bersama.
6. Waktu Tiap Kelompok dalam Masyarakat, Syarat ketiga adalah media harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat.  Artinya, mereka harus memahami kondisi semua kelompok di masyarakat secara akurat, tanpa terjebak dalam stereotype.
7.  Kualifikasi Tujuan Masyarakat, Syarat keempat yang diajukan komisi adalah media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Ini tidak berarti media harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat dan hal-hal yang harus diraih.
8. Akses Penuh Informasi, Syarat terakhir yang dituntut komisi adalah media harus membuka “akses penuh ke berbagai sumber informasi”. 

LINGKUNGAN POLITIK BAGI MEDIA

A. Masalah Kekuasaan 
Karena media bergerak dalam masyarakat yang ditandai oleh adanya penyebaran kekuasaan, yang diberikan kepada individu, kelompok dan kelas sosial secara tidak merata, dan karena dalam beberapa hal media berkaitan dengan struktur politik dan ekonomi yang berlaku, maka ada beberapa masalah yang perlu disinggung menyangkut keberadaan hubungan tersebut.  Pertama, jelas bahwa media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi, serta merupakan objek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses.  Di samping itu, media juga tidak terlepas dari peraturan politik, ekonomi dan hukum.  Kedua, media massa seringkali dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya untuk melakukan salah satu (atau lebih) dari beberapa hal yang tersebut di bawah ini :
- menarik dan mengarahkan perhatian
- membujuk pendapat dan anggapan
- mempengaruhi pilihan sikap (misalnya dalam hal pemberian suara dan pembelian)
- memberikan status dan ligitimasi
- mendefinisikan dan membentuk persepsi realitas

Semua hal tersebut di atas melahirkan beberapa pertanyaan susulan sebagai berikut:
Siapakah yang mengendalikan media dan untuk kepentingan siapa ?
Siapakah yang memiliki akses terhadap media dan berdasarkan alasan apa?
Pandangan (realitas sosial) siapakah yang disajikannya?
Sejauhmana efektivitas media dalam upaya mencapai tujuan yang dikehendakinya?
Faktor-faktor apakah yang membatasi atau meningkatkan kekuasaan media dalam berbagai
hal yang disebutkan di atas?


Media massa biasanya merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi serta kepuasan jiwa.



B.  Teori Marxis dan Kekuasaan

Meskipun terdapat keanekaragaman pendapat, namun Marxisme dan interpretasi Marxis tentang media selalu menekankan kenyataan bahwa media massa pada hakikatnya merupakan alat kontrol kelas penguasa kapitalis.

Media komunikasi (misalnya surat kabar) cenderung dimiliki oleh para anggota kelas berada yang diharapkan mampu untuk menjalankan media tersebut demi kepentingan kelas itu.

C.  Teori Fungsionalisme Struktural dan Kekuasaan

Di negara-negara otoriter media dimanfaatkan secara terang-terangan sebagai alat instruksi, peringatan dan kontrol langsung.  Semakin besar kadar dependensi khalayak terhadap media massa segi perolehan informasi dan semakin tinggi pula kekuasaan yang dapat dimiliki oleh media (atau kekuasaan yang dikaitkan dengan peranannya).

D.  Model Alternatif  hubungan Kekuasaan Media
Model “dominasi” menampilkan media massa dengan kedudukannya yang berada di bawah beberapa institusi sosial lainnya, yang memiliki indenpendensi terbatas satu sama lain.  Perbagai organisasi media cenderung dimiliki dan dikendalikan oleh segelintir orang kuat.
Konsep “plularis” bertolak belakang dengan konsep di atas dalam hampir semua segi, karena dalam konsep plularis unsur keanekaragaman dan keteramalan (prediktibilitas) merupakan unsur yang ditekankan pada setiap aspek yang berakar dari pandangan tentang masyarakat yang membuka kemungkinan adanya perubahan dan kontrol demokratis, serta tidak didominasi oleh adanya perubahan dan kontrol demokratis, serta tidak didominasi oleh golongan elit.
“Dominasi” yang dilakukan oleh media mungkin saja memiliki berbagai tujuan.  Dominasi media dalam masyarakat massa, misalnya mungkin saja ditujukan bukan hanya untuk kepentingan manajemen elit, melainkan juga untuk meluluhlantakkan komunitas melalui perlbagai kekuatan perubahan. Semua kekuatan tersebut melemahkan kemampuan komunitas untuk menentang penguasa dan bertindak secara otonom.  Dengan demikian, komunitas itu menjadi lebih tidak berdaya dan semakin tergantung pada kontrol dari atas.  Sementara itu, dominasi dalam masyarakat sosialis (sebagaimana yang biasanya tampak dari luar) bukannya diarahkan untuk kepentingan kekuatan komersial dan kelas, melainkan untuk kepentingan diktatur politik dan penyingkiran para penentang yang dipandang sebagai orang-orang antisosial.
 

Studi Kasus Di Indonesia

(Interaksi Media dan Politik)


Pada periode sejarah masa lalu, dimana orde baru dan orde lama berkuasa, peran dan fungsi media yang kita ketahui, cenderung terkesan sebagai alat kekuasaan. Hasil liputan media massa lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang berkuasa. Hampir tidak pernah kita melihat kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Hal ini disebabkan kerena kehadiran lembaga media terutama media cetak hampir seluruhnya dilakukan oleh pihak swasta yang keberadaanya dikontrol dengan sangat ketat.


Oleh karena itu untuk bisa beroperasi, hanya dimungkinkan dengan memperoleh perizinan yang cukup rumit. Dan izin ini sewaktu-waktu dapat saja dicabut apabila terlihat tanggung jawab mendukung kebijaksanaan penguasa tidak dilaksanakan atau isi pemberitaannya terkesan berseberangan dengan keinginan penguasa.
Kegiatan penerbitan dengan sendirinya merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan pihak penerbit (pengusaha).


Dimana yang pertama memberikan sebuah hak monopoli kepada penerbit dan yang berikutnya harus memberikan dukungan pada setiap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh penguasa. Selain itu pada masa tersebut pemegang kekuasaan memiliki hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaanya dalam pemberian izin. Tidak jarang hak untuk menyensor bahkan sekaligus membreidel penerbitan media apabila dianggap menyebarkan berita yang terkesan merongrong wibawa pemerintah dengan segala macam alasannya.


Kehidupan pers pada waktu itu sangatlah memprihatinkan karena berada dalam pasungan. Lembaga media yang ada pada umumnya tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan kreasinya dalam mengangkat suatu realitas, terlebih lagi melakukan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Oleh karena tidak diberikan keleluasaan maka sistim pemerintahan berjalan menurut kemauan penguasa.

Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan semacam api dalam sekam dikalangan pemerintahan apalagi kalau salah satu pihak merasa kurang sepaham dengan kebijakan pimpinan tertinggi.Keadaan seperti ini tentunya merupakan konflik interen yang dalam skala tertentu dapat menyebabkan semacam ledakan apabila hal tersebut terakumulasi secara sistimatik.


Begitu rezim diktator Suharto jatuh, kemerdekaan pers mulai terkuak. Perizinan untuk menerbitkan media cetak dipermudah. Diperkirakan Departemen Penerangan mengeluarkan 1.600 SIUPP baru, sampai September 1999. Begitu UU no 40/1999 tentang Pers diundangkan, setiap orang dapat menerbitkan koran atau majalah tanpa izin Ini tentunya ikut mewarnai perubahan institusi media dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya.


Jika dahulu untuk mendirikan institusi media harus dengan izin yang ketat, maka untuk sekarang ini, siapapun yang berminat mendirikan lembaga penerbitan pers yang namanya SIUPP, sudah tidak menjadi penghalang lagi. yang penting cukup modal dan beberapa orang yang sedikit punya keterampilan menulis orang impian orang sudah bisa terwujud.


Perubahan yang terjadi di era reformasi ini tidak selamanya berdampak positif bagi masyarakat. Kebebasan pers sering kali dijadikan sarana untuk mengambil keuntungan pribadi. Kepentingan masyarakat untuk mengetahui informasi sering dijadikan tameng bagi media massa untuk mengekspos berita yang dapat menggolkan kepentingannya. Misalnya saja kepentingan pemilik media.


Pemilik media tentunya memiliki latar belakang sosial, budaya, ekonomi, agama, dan politik. Latar belakang ini, tidak dapat dipungkiri, akan selalu mempengaruhi setiap tindakan di dalam menjalankan media yang dimilikinya. Pada gilirannya hal ini dapat diartikan sebagai fenomena adanya pengaruh yang diberikan pemilik media terhadap media yang bersangkutan. Pengaruh bisa diberikan pada pemilihan isu yang diangkat, tokoh yang diwawancarai berkenaan dengan isu tersebut, bagaimana isu yang diangkat ditulis oleh wartawannya, dan lain sebagainya. Singkatnya, pemilik bisa saja melakukan campur tangan pada kebijakan-kebijakan yang dibuat atas medianya.


Pemilik media, dengan demikian, mengikutsertakan medianya di dalam memperjuangkan misi pribadi, kelompok, atau golongannya. Sering ditemui kenyataan bahwa yang menjadi pemilik media justru bukan orang-orang yang berkecimpung di dunia jurnalistik. Kerap kali ditemukan, yang menjadi pemilik media justru orang yang biasanya berkecimpung di dunia bisnis atau politik. Cara mengambil kebijakannya pun kadang kala lebih bernuansa ‘dagang’ atau ‘politis’.


Hal ini penting untuk dicermati karena media merupakan sarana yang efektif untuk memperoleh ‘kekuasaan’. Dan bagaimana media menyuarakan pikirannya adalah hal yang tidak dapat dipungkiri akan mempengaruhi masyarakat untuk berpikir atau beropini. Dan tentunya ini sangat disadari oleh para pemilik media. Melalui media, pesan-pesan dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru, dapat mempengaruhi, sekaligus mencerminkan pemikiran pemiliknya dimana media tersebut hadir. Cara pandang media dalam menyajikan realitas sangat dipengaruhi oleh cara pandang pemilik. Hal ini dapat terlihat dari hasil liputan media dalam mengangkat suatu realitas sosial.


Kata media tentu saja menyiratkan arti “ mediasi” atau sebagai perantara karena keberadaanya diantara audiens dan dunia sekitarnya (lingkungan). Denis Mc Quail misalnya menyebutkan beberapa perumpamaan untuk menjelaskan gagasan tersebut. Media, misalnya merupakan jendela yang memungkinkan kita dapat melihat apa yang ada diluar lingkungan langsung kita, sebagai penterjemah yang dapat membantu kita memahami pengalaman baik langsung maupun secara simbolik, sebagai landasan atau pembawa informasi bagi para audiens dalam menentukan sikap, sebagai rambu-rambu yang yang memberikan instruksi dan arahan, penyaring bagian- bagian dari pengalaman, sekaligus menitikberatkan pada bagian yang lain, sebagai cermin yang memantulkan bayangan kita kembali pada kita sendiri dan sebagai penghalang yang merintangi kebenaran itu sendiri.


Selanjutnya Joshua Meyrowitz menambahkan tiga lagi perumpamaan dimana media dipandang sebagai penghantar yang dapat mengajak kita ke dunia yang jauh dari jangkauan indrawi yang sangat terbatas dan media dapat dipandang sebagai bahasa yang memberikan makna pada kita serta sebagai lingkungan. Hal-hal inilah yang amat disadari oleh pemilik media, dan kesadaran itulah yang bukan tidak mungkin menjadikan seseorang sebagai pemilik media.


Di masa orde baru dan orde lama berkuasa, peran dan fungsi media cenderung terkesan sebagai alat kekuasaan. Hasil liputannya pun tersebut lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang berkuasa. Kini, di era reformasi yang telah banyak melahirkan begitu banyak media, kejadiannya bisa dikatakan hampir sama. Hanya saja kini ‘pemainnya’ bukan semata pemerintah, tetapi individu-individu yang juga memiliki misi tertentu.


DAFTAR PUSTAKA 


William L. Rivers, Jay W. Janse, Alih Bahasa : Haris Munandak dan Dedy Priatna, 2008, Media Massa dan Masyarakat Modern, Prenada Media Group, Jakarta.
Denis McQuail, 1991, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta.
Morissan dkk, 2010, Teori Komunikasi Massa, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Richard west dan Lynn Turner, 2009, Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, salemba karunika, Jakarta.
Burhan Bungin,2008 , Sosiologi Komunikasi, Kencana Pernada group, Jakarta.
Stephe W. Little John dan Karen A. Foss, 2010, Teori Komunikasi, Salemba Karunika, Jakarta.
Straubbar J.2006, Media Now: Understanding Media, Culture and technology, Bab II.